Paper


Paper adalah tugas mandiri yang diberikan kepada mahasiswa sebagai salah satu komponen penilaian yang tidak terpisahkan dengan komponen penilaian lainnya (UTS, UAS, KUIS dan Absensi). Bobot penilaian dari Paper ini adalah sebesar 10 %.  Papaer/tugas pembuatan Makalah diberikan sebanyak 2 (dua) kali selama satu semester, yaitu saat menjelang UTS dan UAS.

24 Tanggapan to “Paper”

  1. Didi Junaedi November 11, 2010 pada 10:05 am #

    MAKALAH PENGANTAR BISNIS I

    TENTANG

    PENGARUH ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN DI PROVINSI BANTEN

    DISUSUN OLEH :

    NAMA : DIDI JUNAEDI
    NPM : 201002849

    STIE AL-KHAIRIYAH
    CITANGKIL – CILEGON
    TAHUN 2010

    PENDAHULUAN

    Tepat 1 Januari 2010, Indonesia secara resmi masuk dalam pelaksanaan kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Banyak kalangan dalam negeri khawatir dengan diberlakukannya ACFTA ini karena melihat perekonomian Indonesia, baik dalam tataran makro dan mikro tak sebanding dengan dominasi ekonomi China.
    Kekhawatiran tersebut memang cukup beralasan. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS.
    Untuk skala nasional data tersebut menunjukkan akan adanya dampak dari ACFTA terhadap perekonomian nasional. Bagaimanakah dampaknya terhadap Provinsi Banten? Apakah akan berdampak positif terhadap Banten, atau sebaliknya?
    Dalam makalah yang singkat ini, saya akan memaparkan kumingkinan-kemungkinan yang akan berdampak pada perekonomian mikro dan perekonomian makro di Indonesia dan dampaknya terhadap Provinsi Banten secara langsung.
    BAB II
    PEMBAHASAN

    1. DAMPAK ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN MIKRO
    Perjanjian perdagangan bebas antara ASEAN dengan China (ACFTA) merupakan peluang perdagangan yang penuh ancaman. Dampak ACFTA harus dilihat secara komprehensif terhadap konsumen dan produsen. Bagi konsumen dengan terbukanya pasar berarti barang makin banyak, pilihan makin banyak jadi kemungkinan harga sekamkin murah. Sementara itu, produsen akan menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan turunnya tarif bagi produk-produk China.
    Selama ini sosialisasi FTA yang dilakukan pemerintah tidak cukup membuat industri lokal lebih berdaya saing. Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mensosialisasikan dan memperbaiki iklim usaha di Provinsi Banten. Pekerjaan rumah pemerintah lainnya seperti pembangunan infrastruktur, perbaikan proses perizinan, serta aturan perpajakan seharusnya sudah diselesaikan sebelumnya.
    Ancaman banjirnya produk China ke pasar dalam negeri Indonesia merupakan tantangan dan PR bagi Indonesia, Karena hal ini juga ancaman hilangnya lapangan pekerjaan formal karena tutupnya perusahaan manufaktur akibat produknya kalah bersaing dengan produk China.
    Sekarang ini sekitar 62 persen dari tenaga kerja kita bekerja di sektor informal seperti usaha kecil menengah. Ketika perusahaan ditutup dan industri menjadi importir saja, maka bisa di bayangkan nasib tenaga kerja informal.
    Contohnya pangsa pasar industri tekstil dan produk tekstil (TP) Indonesia di dalam negeri yang saat ini semakin menurun. Pada 2005, penguasaan industri TPT lokal terhadap pasar domestik mencapai 57 persen namun anjlok menjadi 23 persen pada 2008.

    2. DAMPAK ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN MAKRO
    Pemberlakukan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) hanya akan memberikan banyak peluang bagi Multi National Company (MNC) atau industri-industri raksasa internasional. Karena mereka akan lebih mudah untuk memanfaatkan pasar negara berkembang yang penduduknya cenderung konsumtif.
    Dengan meningkatnya peran dan kiprah MNC dalam ajang Free Trade Agreement (FTA), hal ini juga akan lebih memberikan peluang terjadinya pelanggaran persaingan usaha sehat yang dilakukan oleh MNC, terutama penyalahgunaan posisi dominan serta kartel internasional di pasar-pasar yang sedang berkembang juga semakin besar.
    Ketimpangan perekonomian tersebut terutama produktifitas dan daya saing antara negara maju dengan negara berkembang merupakan beberapa faktor yang diduga berperan dalam terciptanya kesenjangan. Sehingga, MNC memiliki keunggulan produktifitas dan daya saing mutlak (dominan) sehingga berpeluang untuk mengeksploitasi pasar negara berkembang dengan berbagai praktek usaha yang tidak sehat, hanya instrumen hukum persaingan yang mampu untuk mendorong iklim usaha yang sehat dan kompetitif.
    Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) saat ini dalam tahapan awal untuk melakukan kajian terhadap dampak ACFTA terhadap iklim persaingan usaha nasional. Melalui kajian ini, diharapkan KPPU dapat memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai simulasi atau dampak ACFTA terhadap perekonomian nasional khsusunya dalam perspektif persaingan usaha sehat.
    Sedangkan di dalam konteks regional, dikatakan bahwa KPPU akan ikut serta secara proaktif untuk membangun dan menjaga jaringan kerjasama antar lembaga pengawas persaingan di wilayah ASEAN dan China. Dijelaskan, kerjasama tersebut sangat diperlukan untuk mengantisipasi berbagai perilaku anti persaingan yang sifatnya extra territorial, di mana kegiatan yang dilakukan di luar wilayah negara tertentu memberikan dampak negatif pada penduduk di negara yang bersangkutan.
    Maka dari itu, kerjasama dan jaringan lembaga pengawas persaingan di forum ASEAN dan China tersebut diupayakan mampu untuk menimalisir berbagai potensi kartel internasional maupun praktek-praktek usaha tidak sehat.

    3. DAMPAK ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN PROVINSI BANTEN

    Adanya kesepakatan negara Asean dengan China tentang perdagangan bebas Asean China Free Trade Agrement (ACFTA) akan memiliki potensi terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) di Provinsi Banten, hal ini didasarkan adanya keluhan dari kalangan pengusaha, setelah diberlakukannya perdagangan bebas.
    Dampak terhadap perdagangan bebas itu sangat besar. Bahkan dampak Ini terjadi juga hampir di seluruh Indonesia. Perdagangan bebas akan berdampak sangat buruk bagi kegiatan industri di Banten, buntutnya akan terjadi PHK masal.
    Saat ini akibat kesepakatan tersebut, sejumlah serikat buruh sudah memberikan reaksi dengan aksi unjukrasa di sejumlah wilayah. Tentunya berangkat dari mulai lesunya produksi akibat derasnya produk impor yang datang tidak terkendali.
    Berbeda halnya dengan pendapat dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dis nakertrans) Provinsi Banten, Eutik Suarta. “PHK secara besar-besaran tidak akan terjadi di Banten meskipun perdagangan bebas diberlakukan, alasanya, hampir 80 persen yang ada di Provinsi Banten dalam perusahaan yang hasil produksinya dikirim luar negeri.”
    Dia juga menambahakan “Menurut hemat saya, kalau perusahaan ekspor itu tidak akan berdampak terhadap PHK. malah sebaliknya, perusahaan akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja lagi, karena permintaan di luar meningkat.” katanya Jumat kemarin.
    Indikasi peningkatan itu jelas terlihat dari target penempatan kerja untuk tahun 2010 sebanyak 40.000 lebih, tak beda dari tahun sebelumnya.Target kami dalam menyerap tenaga kerja tidak berbeda dari tahun sebelumnya. Program kerja kami ke depan untuk menjaring itu semua akan melakukan job fair seperti tahun 2009. Serta akan memberikan pelatihan-pelatihan.” Katanya.
    Gejolakpun terjadi di Tangerang, terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Tangerang berharap kesepakatan tersebut dapat di tunda, dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif.
    Hal ini adalah jawaban atas aspirasi buruh yang berunjuk rasa di Gedung DPRD Kabupaten Tangerang, Kamis (21/1). Buruh yang tergabung dalam berbagai organisasi meminta DPRD Kabupaten Tangerang membuat surat rekomendasi penolakan terhadap perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten.
    Apabila tidak dibatasi, produk China dapat dengan mudah akan menggilas dan merebut pasar produk local. Lagi-lagi karena kurangnya persiapan produk local dalam persaingan. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

    BAB III
    KESIMPULAN

    Dari pemaparan di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa kesepakatan perdagangan bebas antara ASEAN dan China dapat dijadikan peluang apabila Pemerintah dan pelaku bisnis dalam negri sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi kesepakatan ini. Pemerintah seharusnya banyak berperan aktif dalam hal memperbaiki infrastruktur dan menghilangkan birokrasi yang terlalu berbelit, sehingga dapat memudahkan putra-putri daerah yang ingin mengambil peluang agar usaha yang sudah dijalankan dapat masuk kedalam pasar bebas baik di ASEAN dan China.
    Bagi pelaku usaha yang pemula pun dapat ikut meramaikan peluang usaha ini. Tapi lagi-lagi karena infrastruktur yang kurang mendukung dan birokrasi perijinan yang terlalu berbelit selalu mengurungkan niat mereka untuk memulai usaha baru.
    ACFTA juga merupakan ancaman yang nyata bagi para pelaku bisnis dalam negri khususnya bagi produsen. Sebab selama ini, produk dari Cina merupakan pesaing utama produk-produk lokal/domestik karena harganya jauh lebih murah. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya melakukan pengawasan pelabuhan impor untuk barang-barang dari Cina dan memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI).
    Semoga dengan peran aktif pemerintah dengan pemberlakuan SNI, dapat membatasi impor dan meningkatkan ekspor yang pada akhirnya akan menumbuhkan dan mengangkat perekonomian pelaku usaha dalam serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam ngerei khususnya Provinsi Banten.

  2. SAFRUDIN November 16, 2010 pada 2:51 am #

    Tugas Pengantar Bisnis

    Nama : Safrudin
    NPM : 201003142
    Kelas/Semester : Karyawan/I
    Jurusan : Akuntansi
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    BAB I
    AWAL BERDIRINYA ACFTA

    Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia harus ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN. Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free Trade Area ).
    Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.
    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.

    Latar Belakang Masalah
    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    ACFTA Merupakan Produk Globalisasi

    Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.
    ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka, pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.
    Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan adanya ACFTA.
    Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara berkembang.
    Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang. Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.

    BAB II
    ACFTA DI BANTEN

    Pemberlakuan ASEAN-China Ftee Trade Aggre-ment (ACFTA) berdampak bagi produksi industri di sebagian besar wilayah Indonesia, namun tidak bagi industri di Banten. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    Gejolak di daerah termasuk di Tangerang terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Pemerintah juga harus berupaya menghapus atau menghentikan pungutan-pungutan liar, menurunkan pajak, memberantas korupsi.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten. Kebijakan ini pun disambut positif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang.
    Sekretaris Apindo Kabupaten Tangerang Djuanda Usman mengatakan, jika tak ada pembatasan produk China, pihaknya khawatir produk lokal akan tergilas dan gulung tikar. “Apalagi apabila kita belum siap bersaing dengan produk luar, seperti dari China. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Diinformasikan, produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

    BAB III
    DAMPAK ACFTA TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

    Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.
    Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.
    Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.
    Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.
    Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.
    Itu baru satu jenis barang, elektronik. Ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.

    Daftar Pustaka
    1. http://www.walhi.or.id/component/content/article/132-kegiatan/644-acfta?lang=in
    2. http://blogs.unpad.ac.id/yogix/2010/02/22/apa-itu-acfta/
    3. http://kaumbiasa.com/dampak-acfta-pada-lingkungan-hidup.php
    4. http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52586
    5. http://www.pusdima-fis.co.cc/2010/03/dampak-positif-dan-negatif-acfta.html

  3. SAFRUDIN November 16, 2010 pada 2:54 am #

    Tugas Pengantar Bisnis

    Nama : Safrudin
    NPM : 201003142
    Kelas/Semester : Karyawan/I
    Jurusan : Akuntansi
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    BAB I
    AWAL BERDIRINYA ACFTA

    Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia harus ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN. Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free Trade Area ).
    Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.
    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.

    Latar Belakang Masalah

    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    ACFTA Merupakan Produk Globalisasi

    Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.
    ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka, pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.
    Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan adanya ACFTA.
    Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara berkembang.
    Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang. Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.

    BAB II
    ACFTA DI BANTEN

    Pemberlakuan ASEAN-China Ftee Trade Aggre-ment (ACFTA) berdampak bagi produksi industri di sebagian besar wilayah Indonesia, namun tidak bagi industri di Banten. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    Gejolak di daerah termasuk di Tangerang terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Pemerintah juga harus berupaya menghapus atau menghentikan pungutan-pungutan liar, menurunkan pajak, memberantas korupsi.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten. Kebijakan ini pun disambut positif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang.
    Sekretaris Apindo Kabupaten Tangerang Djuanda Usman mengatakan, jika tak ada pembatasan produk China, pihaknya khawatir produk lokal akan tergilas dan gulung tikar. “Apalagi apabila kita belum siap bersaing dengan produk luar, seperti dari China. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Diinformasikan, produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

    BAB III
    DAMPAK ACFTA TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

    Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.
    Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.
    Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.
    Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.
    Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.
    Itu baru satu jenis barang, elektronik. Ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.

    Daftar Pustaka
    1. http://www.walhi.or.id/component/content/article/132-kegiatan/644-acfta?lang=in
    2. http://blogs.unpad.ac.id/yogix/2010/02/22/apa-itu-acfta/
    3. http://kaumbiasa.com/dampak-acfta-pada-lingkungan-hidup.php
    4. http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52586
    5. http://www.pusdima-fis.co.cc/2010/03/dampak-positif-dan-negatif-acfta.html

  4. DEVI INDRIANI November 16, 2010 pada 3:02 am #

    Tugas Pengantar Bisnis

    Nama : Devi Indriani
    NPM : 201002865
    Kelas/Semester : Karyawan/I
    Jurusan : Manajemen
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    Sejarah Terbentuknya ACFTA

    ACFTA ( Asean China Free Trade Area ) adalah Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina. Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.
    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.
    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    ACFTA Merupakan Produk Globalisasi

    Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.
    ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka, pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.
    Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan adanya ACFTA.
    Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara berkembang.
    Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang. Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.

    ACFTA DI BANTEN

    Pemberlakuan ASEAN-China Ftee Trade Aggre-ment (ACFTA) berdampak bagi produksi industri di sebagian besar wilayah Indonesia, namun tidak bagi industri di Banten. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    Gejolak di daerah termasuk di Tangerang terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Pemerintah juga harus berupaya menghapus atau menghentikan pungutan-pungutan liar, menurunkan pajak, memberantas korupsi.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten. Kebijakan ini pun disambut positif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang.
    Sekretaris Apindo Kabupaten Tangerang Djuanda Usman mengatakan, jika tak ada pembatasan produk China, pihaknya khawatir produk lokal akan tergilas dan gulung tikar. “Apalagi apabila kita belum siap bersaing dengan produk luar, seperti dari China. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Diinformasikan, produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

    DAMPAK ACFTA TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

    Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.
    Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.
    Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.
    Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.
    Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.
    Itu baru satu jenis barang, elektronik. Ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.

  5. SAFRUDIN November 16, 2010 pada 3:03 am #

    Tugas Pengantar Bisnis

    Nama : Safrudin
    NPM : 201003142
    Kelas/Semester : Karyawan/I
    Jurusan : Akuntansi
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    BAB I
    AWAL BERDIRINYA ACFTA

    Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia harus ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN. Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free Trade Area ).
    Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.
    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.

    Latar Belakang Masalah

    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    ACFTA Merupakan Produk Globalisasi

    Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.
    ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka, pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.
    Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan adanya ACFTA.
    Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara berkembang.
    Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang. Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.

    BAB II
    ACFTA DI BANTEN

    Pemberlakuan ASEAN-China Ftee Trade Aggre-ment (ACFTA) berdampak bagi produksi industri di sebagian besar wilayah Indonesia, namun tidak bagi industri di Banten. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    Gejolak di daerah termasuk di Tangerang terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Pemerintah juga harus berupaya menghapus atau menghentikan pungutan-pungutan liar, menurunkan pajak, memberantas korupsi.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten. Kebijakan ini pun disambut positif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang.
    Sekretaris Apindo Kabupaten Tangerang Djuanda Usman mengatakan, jika tak ada pembatasan produk China, pihaknya khawatir produk lokal akan tergilas dan gulung tikar. “Apalagi apabila kita belum siap bersaing dengan produk luar, seperti dari China. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Diinformasikan, produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

    BAB III
    DAMPAK ACFTA TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

    Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.
    Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.
    Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.
    Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.
    Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.
    Itu baru satu jenis barang, elektronik. Ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.

    Daftar Pustaka
    1. http://www.walhi.or.id/component/content/article/132-kegiatan/644-acfta?lang=in
    2. http://blogs.unpad.ac.id/yogix/2010/02/22/apa-itu-acfta/
    3. http://kaumbiasa.com/dampak-acfta-pada-lingkungan-hidup.php
    4. http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52586
    5. http://www.pusdima-fis.co.cc/2010/03/dampak-positif-dan-negatif-acfta.html

  6. SAFRUDIN November 16, 2010 pada 3:04 am #

    Tugas Pengantar Bisnis

    Nama : Safrudin
    NPM : 201003142
    Kelas/Semester : Karyawan/I
    Jurusan : Akuntansi
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    BAB I
    AWAL BERDIRINYA ACFTA

    Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia harus ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN. Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free Trade Area ).
    Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.
    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.

    Latar Belakang Masalah

    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    ACFTA Merupakan Produk Globalisasi

    Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.
    ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka, pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.
    Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan adanya ACFTA.
    Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara berkembang.
    Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang. Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.

    BAB II
    ACFTA DI BANTEN

    Pemberlakuan ASEAN-China Ftee Trade Aggre-ment (ACFTA) berdampak bagi produksi industri di sebagian besar wilayah Indonesia, namun tidak bagi industri di Banten. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    Gejolak di daerah termasuk di Tangerang terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Pemerintah juga harus berupaya menghapus atau menghentikan pungutan-pungutan liar, menurunkan pajak, memberantas korupsi.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten. Kebijakan ini pun disambut positif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang.
    Sekretaris Apindo Kabupaten Tangerang Djuanda Usman mengatakan, jika tak ada pembatasan produk China, pihaknya khawatir produk lokal akan tergilas dan gulung tikar. “Apalagi apabila kita belum siap bersaing dengan produk luar, seperti dari China. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Diinformasikan, produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

    BAB III
    DAMPAK ACFTA TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

    Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.
    Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.
    Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.
    Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.
    Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.
    Itu baru satu jenis barang, elektronik. Ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.

    Daftar Pustaka
    1. http://www.walhi.or.id/component/content/article/132-kegiatan/644-acfta?lang=in
    2. http://blogs.unpad.ac.id/yogix/2010/02/22/apa-itu-acfta/
    3. http://kaumbiasa.com/dampak-acfta-pada-lingkungan-hidup.php
    4. http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52586
    5. http://www.pusdima-fis.co.cc/2010/03/dampak-positif-dan-negatif-acfta.html

  7. SAFRUDIN November 16, 2010 pada 3:05 am #

    Tugas Pengantar Bisnis

    Nama : Safrudin
    NPM : 201003142
    Kelas/Semester : Karyawan/I
    Jurusan : Akuntansi
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    BAB I
    AWAL BERDIRINYA ACFTA

    Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia harus ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN. Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free Trade Area ).
    Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.
    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.

    Latar Belakang Masalah

    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    ACFTA Merupakan Produk Globalisasi

    Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.
    ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka, pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.
    Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan adanya ACFTA.
    Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara berkembang.
    Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang. Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.

    BAB II
    ACFTA DI BANTEN

    Pemberlakuan ASEAN-China Ftee Trade Aggre-ment (ACFTA) berdampak bagi produksi industri di sebagian besar wilayah Indonesia, namun tidak bagi industri di Banten. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    Gejolak di daerah termasuk di Tangerang terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Pemerintah juga harus berupaya menghapus atau menghentikan pungutan-pungutan liar, menurunkan pajak, memberantas korupsi.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten. Kebijakan ini pun disambut positif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Kabupaten Tangerang.
    Sekretaris Apindo Kabupaten Tangerang Djuanda Usman mengatakan, jika tak ada pembatasan produk China, pihaknya khawatir produk lokal akan tergilas dan gulung tikar. “Apalagi apabila kita belum siap bersaing dengan produk luar, seperti dari China. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Diinformasikan, produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

    BAB III
    DAMPAK ACFTA TERHADAP LINGKUNGAN HIDUP

    Disepakatinya ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) pada Januari 2010 lalu setidaknya membuat banyak pihak khawatir. Para pengusaha mulai khawatir produk-produknya tidak bisa bersaing dengan produk-produk dari China. Lha wong belum ada ACFTA saja produk China telah membanjiri pasar Indonesia. Sedikit namun pasti menggeser dan menyingkirkan produk-produk lokal. Murahnya harga adalah alasan orang memilih produk dari China.
    Jangankan para pengusaha yang bermodal besar dengan jaringan yang luar serta memiliki pasar yang lebih tertata, para petani pun merasakan dampaknya. Buah lokal lebih mahal dari buah impor. Apalagi jika ACFTA benar-benar mulai diberlakukan. Sudah dapat dipastikan semakin banyak produk-produk China membanjiri pasaran Indonesia. Ditambah dengan perilaku konsumen kita yang mementingkan gengsi daripada gizi jelas akan memilih buah dan makanan impor karena dianggap lebih bergengsi. Maka semakin terpuruklah pedagang kecil dan produsen pangan alias petani kita.
    Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.
    Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.
    Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.
    Itu baru satu jenis barang, elektronik. Ada juga pakaian, ada produk-produk pertanian seperti buah dan sayur maupun makanan siap saji alias instan. Semua berpotensi menumpuk sampah. Saat Apel Malang kalah dengan Apel Shangdong atau ketika Jeruk Medan tidak laku dibanding Jeruk Shanghai maka selain petani kita makin merugi, sampah juga semakin banyak.

  8. wenny setya putri November 20, 2010 pada 4:07 am #

    MAKALAH

    PENGANTAR BISNIS

    ’’ACFTA DAN PENGARUH TERHADAP BISNIS DI BANTEN’’

    DISUSUN OLEH :

    NAMA : WENNY SETYA PUTRI
    NPM : 201003140
    KARYAWAN (2) AKUNTANSI

    STIE AL-KHAIRIYAH

    CITANGKIL-CILEGON

    KATA PENGANTAR
    Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima Masalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat Negara lain terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global.
    Makalah ini disusun untuk membahas mengenai dampak ACFTA terhadap perekonomian Indonesia. Namun, selain itu penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
    kasih atas pihak-pihak yang terkait yang telah memberikan dukungan dan dorongan dalam bentuk apapun sehingga dapat terlaksananya penyusunan makalah ini. Semoga makalah in dapat bermanfaat bagi para pembaca.
    Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berterima kasih atas saran dan kritik yang membangun agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya dapat lebih disempurnakan. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih.

    Penyusun

    Wenny setya putri

    DAFTAR ISI

    Kata Pengantar

    Daftar Isi

    Pendahuluan

    Bab I Persiapan Indonesia Dalam Menghadapi ACFTA

    Bab II Absennya Strategi Indonesia Untuk Menghadapi ACFTA

    BAB III Dampak ACFTA Terhadap Perekonomian Indonesia

    BAB IV Testimoni Dari Para Pelaku Ekonomi Akan Adanya ACFTA

    Penutup

    Daftar Pustaka

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang
    Persaingan global merupakan momok yang mengerikan bagi para pengusaha industri terutama industri menengah dan kecil. Dengan adanya ACFTA, hal in menjadi monster yang menyeramkan. Permasalahan ekonomi kerap kali muncul mengenai berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam dan meningkat. Maka dari itu, dampak akan perekonomian Indonesia adanya perjanjian AFTA-China harus lebih diperhatikan. Hal ini perlu adanya solusi, pemikiran dan sikap/ mental yang harus dipersiapkan dalam menghadapi persaingan global ini.
    B. Maksud dan Tujuan

    Tujuan diadakannya penyusunan makalah in adalah guna memenuhi salah satu

    tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.

    Maksud dari adanya penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :

    a) menilai dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA

    b) mengetahui sejauh mana persiapan Indonesia dalam menghadapi persaingan global

    c) Menganalisis strategi persiapan Indonesia yang dilakukan sebelum terlaksananya perjanjian ACFTA

    D.Isi

    Dalam penyusunan makalah ini, penulis membahas mengenai :

    a) BAB I Persiapan Indonesia Dalam Menghadapi ACFTA; bab ini berisi mengenai

    langkah-langkah yang dilakukan Indonesia sebelum terlaksananya Perjanjian Pasar global-China sebelum awal Januari 2010.

    b) BAB II Absensinya Strategi Indonesia dalam menghadapi ACFTA; dalam bab ini dibahas mengenai kelemahan strategi Indonesia sebagai bentuk dari ketidaksiapan Indonesia untuk bersaing dengan negara China.
    c) BAB III Dampak ACFTA terhadap Perekonomian Indonesia; dalam pembahasan kali ini penulis menganalisa mengenai dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA
    d) BAB IV Testimoni dari para pelaku Ekonomi terhadap adanya ACFTA; bab ini menjelaskan mengenai pendapat para produsen, pakar ekonomi dan pihak yang terkait akan perekonomian Indonesia.

    D. Metode Penelaahan

    Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode pustaka, berbagai

    referensi dari artikel koran serta pencarian situs website.

    BAB I
    PERSIAPAN INDONESIA DALAM MENGHADAPI ACFTA
    ACFTA merupakan salah satu bentuk kerja sama liberalisasi ekonomi yang banyak dilakuakn Indonesia dalam 10 tahun terakhir ini. Awal januari 2010 muai pemberlakuan mengenai Asean China Free Trade Agreement. Ini merupakan perang mutu, harga, kuantitas akan suatu pelayanan barang dan jasa serta industri pasar global China. Mengapa China? Seperti yang kita ketahui, harga barang produksi China relatif murah dan diminati konsumen Indonesia. Hal in itidak terlepas dari kualitas barang yang dihasilkan oleh China. Dengan adanya fenomena ini, Indonesia perlu mempersiapkan tim yang diharapkan mampu memberi kontribusi positif memperkuat daya saing global.
    Pemerintah bersama Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Indonesia (Apindo) membetuk tim bersama ASEAN-China Free Trade Agreement. Tim ini berperan menampung keluhan terkait hambatan pengusaha menghadapi pelaksanaan ACFTA yang dimulai awal Januari 2010. Tim yang dipimpin langsung oleh Menko Perekonomian, Deputi Menko (Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan) Edi Putra ini menyoroti kebijakan, potensi gangguan ekspor impor dan pemanfaatan peluang.
    Dengan adanya tim ini dapat dipantau perbandingan seberapa besar kekuatan barang kompetitor. Keluhan-keluhan dari para pengusaha bisa dipakai untuk mengidentifikasi berbagai masalah yang perlu ditangani demi memperkuat daya saing industri nasional di ajang kompetisi ACFTA. Namun, pada kenyataannya, pembentukan tim tersebut kurang cukup membantu dalam menghadapi persaingan global. Hal ini dikarenakan masih minimnya daya saing produk Indonesia yang menjadi tombak perekonomian. Banyak faktor yang menentukan tinggi rendahnya daya saing. Salah satunya adalah peran dari strategi perdagangan dan industri. Tanpa strategi industri dan perdagangan, suatu negara tidak mungkin membangun industri yang kompetitif dan produktif.
    Apabila dilihat dari daya saing produk industri, indonesia masih minim dalam menghadapi persaingan, sedikitnya ada 14 sektor usaha yang harus dirundingkan ulang (renegoisasi) untuk penangguhan keikutsertaan dalam ACFTA selama 2-5 tahun ke8 Maka dari itu, kalangan industri harus melakukan pembenahan karena persaingna terbuka tidak bisa dihindari.
    BAB II
    ABSENSINYA STRATEGI INDONESIA
    Strategi merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara menghadapi persaingan yang tepat dan efisien diperlukan guna memenangkan persaingan bebas. Namun, pada kenyataannya Indonesia absen strategi dibandingkan dengan China. Hal ini dapat kita lihat dari 4 aspek, yakni sebagai berikut :
    1) sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan penyediaan listrik murah. Listrik merupakan faktor penting untuk menciptakan daya saing dan menarik investasi. Karena itu dalam penyediaan listrik, China memilih memanfaatkan batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya daya tarik industri manufaktur, antara lain akibat kegagalan PLN menjaga pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN tidak mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara maupuan gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan energi alam yang tidak kalah jika dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih memilih menjadikan batu bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri. Demikian juga pada pengolahan timah, China tidak menjadikan komoditas ekspor yang didasarkan pada visi dan strategi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetitif. Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah negara lain.
    2) Dalam kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjga nilai tukar yang lemah dilakukan sesuai strategi untuk menjaga daya saiang produk industri. Bahkan pada saat krisis, China membantu negara lain lewat special credit facility yakni memberikan kemudahan pembayaran bagi importir yang dilakukan untuk menjaga permintaan produk China. Sedangkan kebijakan Indonesia untuk memilih nilai tukar rupiah yang kuat juga telah menggeruk daya saing berbagai produk ekspor. Tanpa strategi industri, pilihan kebijakan fiskal dan moneter akhirnya memang tidak terarah dan akhirnya meguntungkan sektor keuangan daripada riil.
    3) Dalam hal sumber daya energi, Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu) untuk produk elektronika dan produksi. Namun, berbeda dengan China, dalam membangun industri elektronika yang terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendukung dengan mengolah bahan baku.

    BAB III
    DAMPAK ACFTA TERHADAP PEREKONOMIAN INDONESIA

    Dalam hal ini, terdapat dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA yang diberlakukan oleh Indonesia ;

    a) Dampak Negatif

    Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telahmengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).

    Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil
    sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor
    saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.” Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.

    Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor- sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?

    Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.

    Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.

    b) Dampak Positif dari adanya ACFTA

    Pertama: ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dari
    investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yang
    tidak menjadi peserta ACFTA

    Kedua : dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan voume perdagangan. Hal ini di motivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi

    Ketiga : ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena dengan adanya AC-FTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murah dan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMN tersebut membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya ke pasar Cina.

    BAB IV
    TESTIMONI ACFTA
    Dengan adanya ACFTA terjadilah Pros dan cons diantara para pelaku ekonom, maka dari itu
    terdapat beberapa testimoni mengenai ACFTA yang berdampak bagi perekonomian
    Indonesia.
    1) Ketua Komisi VI DPR F-Partai Golkar, Airlangga Hartarto : “Kita minta kepada pemerintah secepatnya membuat kebijakan yang tepat untuk menyambut ACFTA, karena kita paham tak semua sektor riil itu siap menghadapi ACFTA, jadi memang ada beberapa yang belum siap, bahkan tak siap,” katanya,.
    2) Jakarta, 19 Januari 2010 (Business News) : Dengan dibukanya perdagangan ASEAN – China Free Trade Agreement (AC-AFTA) cukup mengerikan bagi Indonesia”, ujar Benny A. Kusbini selaku Ketua Harian Dewan HortikulturaIndonesia, dalam perbincangannya dengan Business News, Senin (19/1) mengatakan, sebab tanpa ada FTA saja, produk China sudah banyak melanglang buana di Indonesia.
    3) Harga menentukan kualitas begitu bukan pak Erias, “You Get What You Pay For”. Barang2 pasar luar yang memang memiliki selera tinggi? (Herdy FN, mahasiswa Trisakti)
    China mungkin cocok untuk masyarakat kita yang daya belinya rendah, sedangkan dengan harga dan kualitas produk lokal yang tinggi bisakah kita “menggempur

    4) Uki Masduki Mahasiswa STIE Ahmad Dahlan, Jakarta:
    Dengan adanya kesepakatan perdagangan bebas dengan negara-negara lain, Indonesia
    diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonominya.bukan karena dilatarbelakangi ketakutan terhadap dampak trade diversion, yaitu ketakutan kehilangan potensi ekspor ke negara tertentu. Dengan jumlah penduduk China yang besar dan tingkat tarif relatif rendah, ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk memasuki pasar Negeri Tirai Bambu itu.

    PENUTUP

    Kesimpulan

    1) ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang
    diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010.

    2) Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing.

    3) ACFTA dipandang terlalu agresif untuk melakukan liberalisasi ekonomi Indonesia
    yang menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam.

    4) ACFTA menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun hal ini tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasi akan keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri negara ini.

    Saran
    1) Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).

    2) UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringanan terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.

    3) Pemerintah harus tetap konsisten dengan kewajiban penggunaan bahan baku lokal
    untuk berbagai sektor infrastruktur

    DAFTAR PUSTAKA

     Koran Media Indonesia, edisi senin 21 Desember 2009
     Koran Media Indonesia, edisi senin 28 Desember 2009
     Koran Media Indonesia, edisi Selasa 19 Januari 2010-01-20
     Koran KOMPAS, edisi Rabu 30 Desember 2009
     Situs http://www.bataviase. Com
     Situs http://www.okezone.com
     Situs pencarian http://www.google.com
     Situs http://www.Inilah.com
     Berbgai macam Blog

  9. Ali Yaturohman November 23, 2010 pada 1:13 pm #

    Tugas Pengantar Bisnis
    Nama : Ali Yaturohman
    NPM : 201002863
    Kelas/Semester : Karyawan/II
    Jurusan : Manajemen
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    Pendahuluan

    Dengan adanya ACFTA, persaingan global ini menjadi monster yang menyeramkan. Permasalahan ekonomi kerap kali muncul mengenai berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam dan meningkat. Maka dari itu, dampak akan perekonomian Indonesia adanya perjanjian AFTA-China harus lebih diperhatikan. Hal ini perlu adanya solusi, pemikiran dan sikap/ mental yang harus dipersiapkan dalam menghadapi persaingan global ini.

    Maksud dan Tujuan

    Tujuan diadakannya penyusunan makalah in adalah guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Bisnis.

    Maksud dari adanya penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
    a) menilai dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA
    b) mengetahui sejauh mana persiapan Indonesia dalam menghadapi persaingan global
    c) Menganalisis strategi persiapan Indonesia yang dilakukan sebelum terlaksananya perjanjian ACFTA

    Pembahasan

    ACFTA

    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.

    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    PENGARUH ACFTA TERHADAP BISNIS DI BANTEN

    Adanya kesepakatan negara Asean dengan China tentang perdagangan bebas Asean China Free Trade Agrement (ACFTA) akan memiliki potensi terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) di Provinsi Banten, hal ini didasarkan adanya keluhan dari kalangan pengusaha, setelah diberlakukannya perdagangan bebas.
    Dampak terhadap perdagangan bebas itu sangat besar. Bahkan dampak Ini terjadi juga hampir di seluruh Indonesia. Perdagangan bebas akan berdampak sangat buruk bagi kegiatan industri di Banten, buntutnya akan terjadi PHK masal.
    Saat ini akibat kesepakatan tersebut, sejumlah serikat buruh sudah memberikan reaksi dengan aksi unjukrasa di sejumlah wilayah. Tentunya berangkat dari mulai lesunya produksi akibat derasnya produk impor yang datang tidak terkendali.
    Berbeda halnya dengan pendapat dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dis nakertrans) Provinsi Banten, Eutik Suarta. “PHK secara besar-besaran tidak akan terjadi di Banten meskipun perdagangan bebas diberlakukan, alasanya, hampir 80 persen yang ada di Provinsi Banten dalam perusahaan yang hasil produksinya dikirim luar negeri.”
    Dia juga menambahakan “Menurut hemat saya, kalau perusahaan ekspor itu tidak akan berdampak terhadap PHK. malah sebaliknya, perusahaan akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja lagi, karena permintaan di luar meningkat.” katanya Jumat kemarin.
    Indikasi peningkatan itu jelas terlihat dari target penempatan kerja untuk tahun 2010 sebanyak 40.000 lebih, tak beda dari tahun sebelumnya.Target kami dalam menyerap tenaga kerja tidak berbeda dari tahun sebelumnya. Program kerja kami ke depan untuk menjaring itu semua akan melakukan job fair seperti tahun 2009. Serta akan memberikan pelatihan-pelatihan.” Katanya.
    Gejolakpun terjadi di Tangerang, terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Tangerang berharap kesepakatan tersebut dapat di tunda, dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif.
    Hal ini adalah jawaban atas aspirasi buruh yang berunjuk rasa di Gedung DPRD Kabupaten Tangerang, Kamis (21/1). Buruh yang tergabung dalam berbagai organisasi meminta DPRD Kabupaten Tangerang membuat surat rekomendasi penolakan terhadap perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten.
    Apabila tidak dibatasi, produk China dapat dengan mudah akan menggilas dan merebut pasar produk local. Lagi-lagi karena kurangnya persiapan produk local dalam persaingan. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.

  10. Sugi Triono November 23, 2010 pada 1:24 pm #

    Tugas Pengantar Bisnis
    Nama : Sugi Triono
    NPM : 201002847
    Kelas/Semester : Karyawan/II
    Jurusan : Manajemen
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    Kata Pengantar

    Makalah ini disusun untuk membahas mengenai dampak ACFTA terhadap perekonomian Indonesia. Namun, selain itu penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
    kasih atas pihak-pihak yang terkait yang telah memberikan dukungan dan dorongan dalam bentuk apapun sehingga dapat terlaksananya penyusunan makalah ini. Semoga makalah in dapat bermanfaat bagi para pembaca.
    Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berterima kasih atas saran dan kritik yang membangun agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya dapat lebih disempurnakan. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih.

    Pendahuluan

    Kekhawatiran melihat perekonomian Indonesia, baik dalam tataran makro dan mikro tak sebanding dengan dominasi ekonomi China memang cukup beralasan. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS.
    Untuk skala nasional data tersebut menunjukkan akan adanya dampak dari ACFTA terhadap perekonomian nasional. Bagaimanakah dampaknya terhadap Provinsi Banten? Apakah akan berdampak positif terhadap Banten, atau sebaliknya?
    Dalam makalah yang singkat ini, saya akan memaparkan kumingkinan-kemungkinan yang akan berdampak pada perekonomian mikro dan perekonomian makro di Indonesia dan dampaknya terhadap Provinsi Banten secara langsung.

    Pembahasan

    ACFTA

    Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free Trade Area ) menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.

    ASEAN merupakan organisasi regional yang keanggotaannya terdiri dari negara-negara Asia Tenggara. Pada saat ini negara-negara kawasan Asia Tenggara termasuk Cina mengadakan suatu perjanjian perdagangan. ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) adalah suatu perjanjian tentang perdagangan bebas antara negara-negara ASEAN dan Cina Kesepakatan mengenai ACFTA (ASEAN Cina Free Trade Area) mulai diberlakukan pada tanggal 1 Januari 2010. Hal ini menyebabkan produk-produk Cina dapat bebas masuk ke negara-negara anggota ASEAN termasuk Indonesia . Tidak hanya Indonesia yang menjadi sasaran melainkan seluruh dunia termasuk Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. produk Cina yang super murah telah membanjiri pasar.
    Bagi suatu negara yang terlibat dalam suatu persetujuan perdagangan bebas, tentunya dengan membuat persetujuan ini diperkirakan akan mendapat keuntungan dan kerugian. Dengan membuka pasar seluas-luasnya berarti impor barang dan jasa dari negara lain mengalir dengan bebas dan deras. Hal ini dapat mengancam sektor-sektor ekonomi tertentu dalam negeri. Tentunya akan selalu ada sektor-sektor yang dikorbankan karena tidak mampu bersaing. Ketika informasi-informasi seputar ACFTA mencuat ke permukaan, sebagian industri lokal banyak yang kalang kabut. Bahkan bukan hanya pengusaha, para pekerjapun turut melakuakan aksi demonstrasi menolak ACFTA mereka menyadari bahwa lambat laun akan berdampak pada kesejahteraan mereka.
    Walau disepakati relatif lama, ternyata kesepakatan ini mendapat tantangan tatkala mulai diberlakukan banyak pelaku usaha, akademisi, hingga pemerintah itu sendiri yang baru menyadari akan pengaruh akan perjanjian ACFTA tersebut.

    ACFTA DI BANTEN

    Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    Gejolak di daerah termasuk di Tangerang terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif. Pemerintah juga harus berupaya menghapus atau menghentikan pungutan-pungutan liar, menurunkan pajak, memberantas korupsi.

    Dampak ACFTA bagi perekonomian bangsa ini memang luar biasa. Efek dominonya akan membuat gonjang-ganjing perekonomian nasional secara makro maupun mikro. Namun karena saya bukanlah pakar ekonomi maka saya tidak akan membahas hal itu. Saya hanya mengingatkan bahwa ada dampak yang lebih besar dan kompleks ketika ACFTA berlaku, yakni dampaknya terhadap lingkungan.
    Ketika persaingan bebas digelar maka para produsen akan berlomba-lomba menekan biaya produksi demi mendapatkan harga murah. Biaya produksi dipangkas baik dari ongkos buruh, mengurangi bahan baku dan menurunkan kwalitas barang. Maka logis apa kata orang Jawa ana rega ana rupa, semakin murah harga barang maka semakin rendah kwalitas. Semakin rendah kwalitas maka semakin cepat rusak. Semakin rusak maka semakin banyak sampah menumpuk.
    Ambil contoh kasus barang elektronik. Ketika barang dijual dengan harga murah dan kwalitas rendah maka hampir pasti tidak ada suku cadang alias spare part. Maka bisa dibayangkan ketika barang-barang elektronik yang rusak dan menjadi sampah, berapa banyak gunung-gunung sampah yang akan terbentuk? Bukankah ketika sebelum ACFTA saja sudah banyak barang elektronik dari China menjadi barang sekali pakai. Begitu rusak maka yo diguwak (dibuang – Ind). Ditambah ketika ACFTA benar-benar dilaksanakan. Artinya, lingkungan hidup menjadi terancam. Jangan kaget dan jangan heran ketika suatu saat akan ada tumpukan rongsokan kulkas, TiPi, HP, atau rongsokan sepeda motor yang menggunung karena sudah tidak bisa digunakan lagi.

  11. sugitriono AHS November 24, 2010 pada 6:59 am #

    Makalah Pengantar Bisnis
    Nama : Sugitriono AHS
    NPM : 201002847
    Kelas/semester : Karyawan/2
    Jurusan : Manajemen
    Judul makalah : ACFTA DI BANTEN

    KATA PENGANTAR
    Puji dan Syukur Saya panjatkan kepada ALLAH SWT, atas berkat dan rahmatnya akhirnya kami dapat menyelesaikan tugas Makalah untuk memenuhi salah satu syarat mata kuliah PENGANTAR BISNIS, makalah ini saya buat sesuai dengan tugas yang diberikan dosen.
    Saya sangat menyadari bahwa isi yang terdapat dalam makalah ini masih banyak kekurangan, baik di dalam penulisan dan kata-kata. Hal ini disebabkan karena keterbatasan kemampuan yang saya miliki dan keterbatasan waktu, namun demi kesempurnaan penulisan makalah ini diharapkan adanya kritik dan saran yang membangun serta sebagi bahan masukan dan pertimbangan.
    Atas perhatiannya saya mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.
    Cilegon, 12 November 2010
    Penyusun
    DAFTAR ISI
    Kata Pengantar
    Daftar Isi
    Bab I Pendahuluan
    A. Latar Belakang Masalah
    B. Maksud dan Tujuan
    C. Metode penelaah
    Bab II Pembahasan
    A. sejarah berdirinya ACFTA
    B. ACFTA Absensi Strategis
    C. Dampak AFCTA terhadap perekonomian di banten
    Bab III Penutup
    A. Kesimpulan
    B. Saran-saran

    BAB I PENDAHULUAN
    A. Latar belakang masalah
    Tepat 1 Januari 2010, Indonesia secara resmi masuk dalam pelaksanaan kesepakatan ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Banyak kalangan dalam negeri khawatir dengan diberlakukannya ACFTA ini karena melihat perekonomian Indonesia, baik dalam tataran makro dan mikro tak sebanding dengan dominasi ekonomi China.
    Kekhawatiran tersebut memang cukup beralasan. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS.
    Untuk skala nasional data tersebut menunjukkan akan adanya dampak dari ACFTA terhadap perekonomian nasional. Bagaimanakah dampaknya terhadap Provinsi Banten? Apakah akan berdampak positif terhadap Banten, atau sebaliknya?
    Dalam makalah yang singkat ini, saya akan memaparkan kumingkinan-kemungkinan yang akan berdampak pada perekonomian mikro dan perekonomian makro di Indonesia dan dampaknya terhadap Provinsi Banten secara langsung.
    Reaksi keras tidak hanya datang dari pelaku bisnis, namun anggota DPR pun ikut angkat bicara. Komisi VI DPR Komisi IV meminta pemerintah melakukan renegoisasi perjanjian kerja sama ACFTA sekaligus menunda perjanjian di sektor-sektor yang terkait perdagangan bebas. Banyaknya keberatan yang muncul dari berbagai kalangan tersebut harusnya dijadikan pertimbangan bagi pemerintah untuk tetap melakukan pengimplementasian Free Trade Area dengan negeri tirai bambu tersebut di tanah air. Namun fakta yang ditemukan adalah FTA ASEAN-China justru resmi diratifikasi Indonesia pada 1 Januari 2010 yang ditandai dengan penghapusan bea masuk dalam program normal track.
    Gejolak masyarakat terkait penerapan hubungan dagang dengan China tersebut seakan diabaikan oleh pemerintah. Hal tersebut tentu saja mencengangkan dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai sejatinya Bapa factor utama yang menyebabkan pemerintah tetap kukuh memberlakukan Free Trade Area dengan China?
    B. Maksud dan Tujuan
    Diharapkan dengan melihat rasionalisasi pemerintah Indonesia dalam meratifiksi CAFTA dan mengaitkannya dengan teori yang relevan dapat menjawab kekhawatiran berbagai pihak serta untuk menemukan alasan mendasar pengimplementasian FTA di Indonesia itu sendiri.
    Tujuan diadakannya penyusunan makalah in adalah guna memenuhi salah satu
    tugas mata kuliah Pengantar bisnis.
    C. Metode Penelaahan
    Dalam penyusunan makalah ini, penulis menggunakan metode pustaka, berbagai
    referensi dari artikel koran serta pencarian situs website.
    BAB II PEMBAHASAAN
    A. Sejarah berdirinya ACFTA
    Sebagai salah satu negara anggota dari ASEAN, tidak bisa dipungkiri lagi bahwa Indonesia harus ikut serta dalam perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara ASEAN. Kesepakatan atau perjanjian perdagangangan antara negara-negara ASEAN Cina yang disebut ACFTA ( Asean China Free Trade Area ).
    Perjanjian yang menyangkut perdagangan bebas ini identik dengan hubungan kerjasama dagang antar negara anggota ASEAN ataupun negara non-anggota. Dalam impementasinya perdagangan bebas harus memperhatikan beberapa aspek yang dapat mempengaruhi prinsip perdagangan yaitu seperti prinsip sentral dari keuntungan komparatif (Comparatif Advantege) selain itu juga, kita harus memperhatikan pro dan kontra dibidang tarif dan kuota, serta melihat bagaimana jenis mata uang (valuta asing) yang diperdagangkan berdasarkan kurs tukar valuta asing. Asean China Free Trade Area (ACFTA) yaitu dimana tidak adanya hambatan tarif (bea masuk 0-5 %) maupun hambatan non-tarif bagi negara-negara ASEAN dan juga China .
    Tujuan dari ACFTA sendiri itu adalah memperkuat dan meningkatkan kerja sama antar negara terkait, yaitu meliberisasikan perdagangan barang dan jasa melalui pengurangan atau penghapusan tarif. Kesepakatan perjanjian itu mencakup dalam tiga bidang yang strategis yaitu: perdagangan barang-barang, jasa, dan juga investasi. Perjanjian ACFTA adalah kerja sama dalam bidang ekonomi, Economic Co-opertaion between Asean and people’s Republic of China, yaitu kerjasama antara seluruh anggota daripada ASEAN dengan Negara Cina.
    Perjanjian ini bermula di tandatangani pada tanggal 5 November 2002 yang melahirkan tiga buah kesepakatan, Kesepakatan pertama, pada tanggal 29 November 2002 yang melahirkan suatu kesepakatan di bidang barang (Agreement on Trade in Goods), lalu diadakannya kesepakatan kedua, pada tanggal 14 Januari 2007 yang menghasilkan suatu bentuk kesepakatan di bidang perdagangan dan jasa (Agreement on Trade in Service), dan adanya kesepakatan ketiga, pada tanggal 15 Agustus 2007 yang menghasilkan kesepakatan di bidang investasi (Agreement on Investation). Pada tanggal 1 Januari 2010 kesepakatan atau perjanjian perdagangngan ACFTA mulai diberlakuakan.

    B. ACFTA di Banten
    Pemberlakuan ASEAN-China Ftee Trade Aggre-ment (ACFTA) berdampak bagi produksi industri di sebagian besar wilayah Indonesia, namun tidak bagi industri di Banten. Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Banten, Hudaya mengatakan hal itu dapat dibuktikan berdasarkan data. Hingga akhir triwulan 1 tahun 2010. produksi industri besar, kecil maupun menengah di Banten, untuk nilai ekspor justru mengalami kenaikan sebesar 20,28 persen.
    Angka ekspor merupakan bukti industri di Banten, sanggup bertahan terhadap gempuran produk-produk dari China. Strateginya, agar industri Banten tetap stabil dari dampak pemberlakukan ACFTA yaitu dengan mempertahankan kondisi nilai ekspor tetap pada angka yang sama hingga akhir triwulan tahun ini.
    Bila kondisi ini akan tetap sampai akhir triwulan tahun 2010, maka ekonomi di Banten tetap stabil dan kondusif. Adapun Januari 2010, nilai ekspor industri Banten mencapai 586 juta US dolar atau naik 20.28 persen dari Desember 2009. Dari total ekspor tersebut, sebanyak 58 persen disumbang dari lima komoditas industri yakni alas kaki, bahan baku mineral, tembaga atau logam, plastik, dan kertas/karton.
    Untuk kontribusi industri tekstil pada nilai ekspor Banten hanya mencapai 5 persen. Namun demikian kita perlu mewaspadai terutama bakal dampak yang perlu dikhawatirkan akibat CAFTA itu adalah pada komoditas yang diproduksi oleh industri kecil menengah (IKM) di Banten. Seperti pakaian, komponen elektronik dan logam.
    Kelompok IKM akan mengalami dampak akibat ACFTA. sebab diperkirakan sampai akhir triwulan II gempuran produk China akan makin besar. Terkait itu. Kita harus berupaya mengantisipasi dengan meningkatkan kualitas berbagai macam produk dalam negeri yang akan diperjualbelikan baik di dalam dan luar. Untuk itu semua produk bukan hanya memiliki Standar Nasional Indonesia (SNI) tapi juga harus memiliki Nomor Registrasi Produk (NRP).
    Pengaruh ACFTA terhadap Provinsi Banten sangat signifikan karena sebelum diberlakukannya ACFTA, perekonomian Banten defisit 25,81 % yang disebabkan nilai ekspor lebih rendah dibandingkan dengan nilai impor.
    Sejumlah produk yang akan terkena dampak negatif dari ACFTA ini, di antaranya produk tekstil, baja, dan kosmetik. Dampaknya, industri lokal tidak dapat menaikan harga barang karena barang impor lebih murah dibandingkan harga barang ekspor. Saat barang naik, pelaku usaha selalu dibayangi mahalnya nilai produksi yang akan menambah nilai harga pokok penjualan dan tidak dapat bersaing dengan produk impor terutama dari China yang harganya murah dan gampang ditemukan di pasar.
    Adapun sektor yang terkena dampak negatif ialah sektor industri karena tingginya biaya ekonomi serta buruknya infrastuktur fisik dan nonfisik industri di dalam negeri. Sektor lain yakni perdagangan, karena biaya produksi yang tinggi dan banyaknya barang China yang masuk secara legal maupun ilegal dengan harga sangat murah.
    Antisipasi yang mungkin bisa dicapai yaitu tunda ACFTA sampai barang atau jasa Indonesia bisa siap dengan persaingan ketat di antara negara Asean dan dilakukan modifikasi pada barang atau jasa di Indonesia,” jelas Eli.
    Pemerintah melakukan upaya komprehensif dalam rangka melindungi masyarakat dari kegoncangan yang bisa berdampak pada kemiskinan. Adapun antisipatif untuk Banten, pemerintah melaksanakan kegiatan pengawasan barang dan jasa secara berkala terhadap barang China.
    C. Dampak AFCTA Terhadapa pengaruh perekonomian di banten
    Dalam hal ini, terdapat dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA yang diberlakukan oleh Indonesia.
    A. Dampak Negatif
    Pertama: serbuan produk asing terutama dari Cina dapat mengakibatkan kehancuran sektor-sektor ekonomi yang diserbu. Padahal sebelum tahun 2009 saja Indonesia telah mengalami proses deindustrialisasi (penurunan industri). Berdasarkan data Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, peran industri pengolahan mengalami penurunan dari 28,1% pada 2004 menjadi 27,9% pada 2008. Diproyeksikan 5 tahun ke depan penanaman modal di sektor industri pengolahan mengalami penurunan US$ 5 miliar yang sebagian besar dipicu oleh penutupan sentra-sentra usaha strategis IKM (industri kecil menegah). Jumlah IKM yang terdaftar pada Kementrian Perindustrian tahun 2008 mencapai 16.806 dengan skala modal Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar. Dari jumlah tersebut, 85% di antaranya akan mengalami kesulitan dalam menghadapi persaingan dengan produk dari Cina (Bisnis Indonesia, 9/1/2010).
    Kedua: pasar dalam negeri yang diserbu produk asing dengan kualitas dan harga yang sangat bersaing akan mendorong pengusaha dalam negeri berpindah usaha dari produsen di berbagai sektor ekonomi menjadi importir atau pedagang saja. Sebagai contoh, harga tekstil dan produk tekstik (TPT) Cina lebih murah antara 15% hingga 25%. Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat Usman, selisih 5% saja sudah membuat industri lokal kelabakan, apalagi perbedaannya besar (Bisnis Indonesia, 9/1/2010). Hal yang sangat memungkinkan bagi pengusaha lokal untuk bertahan hidup adalah bersikap pragmatis, yakni dengan banting setir dari produsen tekstil menjadi importir tekstil Cina atau setidaknya pedagang tekstil.
    Sederhananya, “Buat apa memproduksi tekstil bila kalah bersaing? Lebih baik impor saja, murah dan tidak perlu repot-repot jika diproduksi sendiri.” Gejala inilah yang mulai tampak sejak awal tahun 2010. Misal, para pedagang jamu sangat senang dengan membanjirnya produk jamu Cina secara legal yang harganya murah dan dianggap lebih manjur dibandingkan dengan jamu lokal. Akibatnya, produsen jamu lokal terancam gulung tikar.
    Ketiga: karakter perekomian dalam negeri akan semakin tidak mandiri dan lemah. Segalanya bergantung pada asing. Bahkan produk “tetek bengek” seperti jarum saja harus diimpor. Jika banyak sektor ekonomi bergantung pada impor, sedangkan sektor- sektor vital ekonomi dalam negeri juga sudah dirambah dan dikuasai asing, maka apalagi yang bisa diharapkan dari kekuatan ekonomi Indonesia?
    Keempat: jika di dalam negeri saja kalah bersaing, bagaimana mungkin produk-produk Indonesia memiliki kemampuan hebat bersaing di pasar ASEAN dan Cina? Data menunjukkan bahwa tren pertumbuhan ekspor non-migas Indonesia ke Cina sejak 2004 hingga 2008 hanya 24,95%, sedangkan tren pertumbuhan ekspor Cina ke Indonesia mencapai 35,09%. Kalaupun ekspor Indonesia bisa digenjot, yang sangat mungkin berkembang adalah ekspor bahan mentah, bukannya hasil olahan yang memiliki nilai tambah seperti ekspor hasil industri. Pola ini malah sangat digemari oleh Cina yang memang sedang “haus” bahan mentah dan sumber energi untuk menggerakkan ekonominya.
    Kelima: peranan produksi terutama sektor industri manufaktur dan IKM dalam pasar nasional akan terpangkas dan digantikan impor. Dampaknya, ketersediaan lapangan kerja semakin menurun. Padahal setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang, sementara pada periode Agustus 2009 saja jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 8,96 juta orang.
    b) Dampak Positif dari adanya ACFTA
    Pertama: ACFTA akan membuat peluang kita untuk menarik investasi. Hasil dari investasi tersebut dapat diputar lagi untuk mengekspor barang-barang ke negara yang tidak menjadi peserta ACFTA.
    Kedua : dengan adanya ACFTA dapat meningkatkan volume perdagangan. Hal ini di motivasi dengan adanya persaingan ketat antara produsen. Sehingga produsen maupun para importir dapat meningkatkan volume perdagangan yang tidak terlepas dari kualitas sumber yang diproduksi.
    Ketiga : ACFTA akan berpengaruh positif pada proyeksi laba BUMN 2010 secara agregat. Namun disamping itu faktor laba bersih, prosentase pay out ratio atas laba juga menentukan besarnya dividen atas laba BUMN. Keoptimisan tersebut, karena dengan adanya AC-FTA, BUMN akan dapat memanfaatkan barang modal yang lebih murah dan dapat menjual produk ke Cina dengan tarif yang lebih rendah pula pemaparan Menkeu Sri Mulyani dalam Rapat Kerja ACFTA dengan Komisi VI DPR di Gedung DPR RI, Rabu (20/1).Porsi terbesar (91 persen) penerimaan pemerintah atas laba BUMN saat ini berasal dari BUMN sektor pertambangan, jasa keuangan dan perbankan dan telekomunikasi. BUMN tersebut membutuhkan impor barang modal yang cukup signifikan dan dapat menjual sebagian produknya ke pasar Cina.
    Adanya kesepakatan negara Asean dengan China tentang perdagangan bebas Asean China Free Trade Agrement (ACFTA) akan memiliki potensi terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) di Provinsi Banten, hal ini didasarkan adanya keluhan dari kalangan pengusaha, setelah diberlakukannya perdagangan bebas.
    Dampak terhadap perdagangan bebas itu sangat besar. Bahkan dampak Ini terjadi juga hampir di seluruh Indonesia. Perdagangan bebas akan berdampak sangat buruk bagi kegiatan industri di Banten, buntutnya akan terjadi PHK masal.
    Saat ini akibat kesepakatan tersebut, sejumlah serikat buruh sudah memberikan reaksi dengan aksi unjukrasa di sejumlah wilayah. Tentunya berangkat dari mulai lesunya produksi akibat derasnya produk impor yang datang tidak terkendali.
    Berbeda halnya dengan pendapat dari Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dis nakertrans) Provinsi Banten, Eutik Suarta. “PHK secara besar-besaran tidak akan terjadi di Banten meskipun perdagangan bebas diberlakukan, alasanya, hampir 80 persen yang ada di Provinsi Banten dalam perusahaan yang hasil produksinya dikirim luar negeri.”
    Dia juga menambahakan “Menurut hemat saya, kalau perusahaan ekspor itu tidak akan berdampak terhadap PHK. malah sebaliknya, perusahaan akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja lagi, karena permintaan di luar meningkat.” katanya Jumat kemarin.
    Indikasi peningkatan itu jelas terlihat dari target penempatan kerja untuk tahun 2010 sebanyak 40.000 lebih, tak beda dari tahun sebelumnya.Target kami dalam menyerap tenaga kerja tidak berbeda dari tahun sebelumnya. Program kerja kami ke depan untuk menjaring itu semua akan melakukan job fair seperti tahun 2009. Serta akan memberikan pelatihan-pelatihan.” Katanya.
    Gejolakpun terjadi di Tangerang, terhadap kesepakatan perdagangan bebas ASEAN-China (ACFTA) pada 2010 ini sebagai bukti ketidaksiapan daerah dan pelaku usaha. Tangerang berharap kesepakatan tersebut dapat di tunda, dalam rentang waktu penundaan tersebut, pemerintah, khususnya pemerintah daerah lebih serius mendorong iklim usaha yang kondusif dan kompetitif.
    Hal ini adalah jawaban atas aspirasi buruh yang berunjuk rasa di Gedung DPRD Kabupaten Tangerang, Kamis (21/1). Buruh yang tergabung dalam berbagai organisasi meminta DPRD Kabupaten Tangerang membuat surat rekomendasi penolakan terhadap perdagangan bebas ASEAN-China atau ACFTA.
    Sebelumnya, untuk menghadapi ACFTA ini, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten akan membatasi produk China masuk ke wilayah Banten.
    Apabila tidak dibatasi, produk China dapat dengan mudah akan menggilas dan merebut pasar produk local. Lagi-lagi karena kurangnya persiapan produk local dalam persaingan. Produk China sangat berpotensi menjadi ancaman bagi produk-produk dalam negeri. Sebab, produk China harganya terjangkau oleh masyarakat. Produk-produk China yang banyak diproduksi di Kota dan Kabupaten Tangerang antara lain tekstil dan sepatu. Pabriknya menyebar di Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang.
    BAB III PENUTUP
    A. Simpulan
    Berdasarkan penguraian diatas, pada quartal I penerapannya, misi pemerintah Indonesia untuk menjalin kerjasama dengan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) terbilang efektif. Secara tidak langsung, teori interdepedensi yang melatari kaitan mutualisme dua negara juga terbukti karena hubungan kerjasama perdagangan RI-China sejauh ini telah menunjukkan gejala yang menguntungkan kedua negara.
    Program yang mungkin harus lebih dimasifkan oleh pemerintah adalah bagaimana untuk terus meningkatkan fasilitas dalam negeri guna menunjang berbagai sektor terutama pertanian. Insentif dan sosialisasi pertanian juga perlu ditingkatkan agar petani Indonesia kian mampu bersaing menciptakan produksi yang handal.
    Kemudian dalam hal birokrasi, pemerintah juga wajib mengawasi dengan ketat arus masuk barang melalui badan bea dan cukai. Standarisasi produk yang telah disepakati bersama harus terus dipantau pelaksanaannya. Barang-barang illegal di perbatasan juga sedapat mungkin kian ditertibkan guna penerapan mekanisme kontrol yang terarah.
    Kepada masyarakat luas ada baiknya pemerintah terus mengkampanyekan untuk tetap membeli produk dalam negeri yang kualitasnya juga harus diperhatikan oleh pemerintah agar layak bersaing dengan produk impor.
    Terakhir dalam hal investasi, berhubung agraris merupakan sektor penunjang negeri ini, pemerintah dirasa wajib mengontrol laju investasi modal asing dalam sektor tersebut agar tidak terjadi arus investasi yang justru akan merugikan satu pihak (baca: Indonesia). Tak lupa pula sosialisasi mengenai globalisasi di dunia, layaknya dipahami bukan sebagai hambatan, namun justru sebagai tantangan bagi rakyat negeri ini.
    B. Saran
    1) Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
    2) UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringanan terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.
    DAFTAR PUSTAKA
    http://www.bataviase. Com
    http://www.Inilah.com
    http://www.google.com
    http://www.okezone.com
    http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52586 http://www.pusdima-fis.co.cc/2010/03/dampak-positif-dan-negatif-acfta.html

  12. magrenol November 24, 2010 pada 7:01 am #

    Makalah Pengantar Bisnis
    Nama : Magrenol
    NPM : 201003136
    Kelas/semester : Karyawan/2
    Jurusan : Akutansi
    Judul makalah : ACFTA
    KATA PENGANTAR
    Masalah perekonomian merupakan masalah yang tiada batasnya. Indonesia merupakan salah satu dari 3 negara Asia, disamping China dan India yang tetap tumbuh positif saat Negara lain terpuruk akibat krisis finansial global. Ini merupakan suatu prestasi dan optimisme bagi masa depan perekonomian Indonesia. Dengan kondisi ini, pemerintah mengadakan Asean-China Trade Agreement (ACFTA) guna menghadapi persaingan global.
    Makalah ini disusun untuk membahas mengenai dampak ACFTA terhadap perekonomian Indonesia. Namun, selain itu penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pengantar Bisnis.
    Pada kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima kasih atas pihak-pihak yang terkait yang telah memberikan dukungan dan dorongan dalam bentuk apapun sehingga dapat terlaksananya penyusunan makalah ini. Semoga makalah in dapat bermanfaat bagi para pembaca.
    Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berterima kasih atas saran dan kritik yang membangun agar dalam penyusunan makalah yang selanjutnya dapat lebih disempurnakan. Sebelumnya, saya mengucapkan terima kasih.
    Cilegon, 12 november 2010
    Penyusun
    DAFTAR ISI
    Kata Pengantar
    Daftar Isi
    Bab. I Pendahuluan
    A. Latar Belakang Masalah
    B. Maksud dan Tujuan
    C. Persiapan
    Bab II PEMBAHASAN
    A. Absennya Strategi Indonesia Untuk Menghadapi ACFTA
    B. ACFTA Merupakan Produk Globalisasi
    Bab III penutup
    A. Simpulan
    B. Saran
    BAB I PENDAHULUAN
    A. Latar Belakang
    Persaingan global merupakan momok yang mengerikan bagi para pengusaha industri terutama industri menengah dan kecil. Dengan adanya ACFTA, hal in menjadi monster yang menyeramkan. Permasalahan ekonomi kerap kali muncul mengenai berbagai pemenuhan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam dan meningkat. Maka dari itu, dampak akan perekonomian Indonesia adanya perjanjian AFTA-China harus lebih diperhatikan. Hal ini perlu adanya solusi, pemikiran dan sikap/ mental yang harus dipersiapkan dalam menghadapi persaingan global ini.
    B. Maksud dan Tujuan
    Tujuan diadakannya penyusunan makalah in adalah guna memenuhi salah satu
    tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia.
    Maksud dari adanya penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
    a) menilai dampak positif dan negatif dari adanya ACFTA
    b) mengetahui sejauh mana persiapan Indonesia dalam menghadapi persaingan global.
    c) Menganalisis strategi persiapan Indonesia yang dilakukan sebelum
    terlaksananya perjanjian ACFTA
    BAB II PEMBAHASAN
    A. Absensinya Strategi Indonesia untuk menghadapi ACFTA
    Strategi merupakan hal pokok yang harus dilaksanakan oleh setiap kompetitor. Cara menghadapi persaingan yang tepat dan efisien diperlukan guna memenangkan persaingan bebas. Namun, pada kenyataannya Indonesia absen strategi dibandingkan dengan China. Hal ini dapat kita lihat dari 4 aspek, yakni sebagai berikut :
    1) sebagai pusat industri di dunia, pemerintah China memilih untuk memprioritaskan penyediaan listrik murah. Listrik merupakan faktor penting untuk menciptakan daya saing dan menarik investasi. Karena itu dalam penyediaan listrik, China memilih memanfaatkan batu bara yang melimpah. Sedangkan di Indonesia, rendahnya daya tarik industri manufaktur, antara lain akibat kegagalan PLN menjaga pasokan listrik dan tingkat harga. Tingginya biaya produksi terjadi karena PLN tidak mendapat dukungan pasokan energi murah baik batu bara maupuan gas dari pemerintah. Padahal Indonesia memiliki kekayaan energi alam yang tidak kalah jika dibandingkan dengan China. Tetapi Indonesia lebih memilih menjadikan batu bara dan gas sebagai komoditas ekspor, bukan modal untuk membangun Industri. Demikian juga pada pengolahan timah, China tidak menjadikan komoditas ekspor yang didasarkan pada visi dan strategi China untuk membangun struktur industri elektronik yang deep dan kompetitif. Sedangkan Indonesia dibiarkan untuk diolah negara lain.
    2) Dalam kebijakan keuangan, kegigihan China untuk tetap menjga nilai tukar yang lemah dilakukan sesuai strategi untuk menjaga daya saiang produk industri. Bahkan pada saat krisis, China membantu negara lain lewat special credit facility yakni memberikan kemudahan pembayaran bagi importir yang dilakukan untuk menjaga permintaan produk China. Sedangkan kebijakan Indonesia untuk memilih nilai tukar rupiah yang kuat juga telah menggeruk daya saing berbagai produk ekspor. Tanpa strategi industri, pilihan kebijakan fiskal dan moneter akhirnya memang tidak terarah dan akhirnya meguntungkan sektor keuangan daripada riil.
    3) Dalam hal sumber daya energi, Indonesia hanya memiliki industri perakitan (hulu) untuk produk elektronika dan produksi. Namun, berbeda dengan China, dalam membangun industri elektronika yang terintegrasi mulai dari pembangunan industri pendukung dengan mengolah bahan baku.
    C. ACFTA Merupakan Produk Globalisasi
    Era globalisasi dari hari ke hari terus menerus akan berlangsung, kondisi kehidupan dalam proses globalisasi di setiap negara terkesan meningkat. Apalagi jika diukur oleh indikator-indikator yang luas salah satunya adalah dalam hal ekonomi. Negara-negara maju dan kuat memanglah sudah dipastikan sebagai negara yang dapat meraih keuntungan besar dari proses globalisasi, dan negara-negara berkembang juga negara miskin tidak dapat dipastikan akan meraih keuntungan yang positif dari globalisasi ataupun tidak dari proses globalisasi.
    ACFTA merupakan produk keluaran dari globalisasi. Sebenaranya ACFTA merupakan peluang bagi negara ASEAN dan Cina untuk berkompetisi secara fair untuk memasarkan produk hasil dari negerinya. Dalam hal ini seperti yang kita ketahui bahwa Cina merupakan “Roda Penggerak“ dalam bidang barang, jasa dan investasi, dan mau tidak mau suka tidak suka, pemerintahan manapun harus siap dengan perjanjian tersebut termasuk Indonesia.
    Indonesia juga harus juga siap menghadapi perjanjian atau kesepakatan ACFTA tersebut. Mulai diberlakukannya perjanjian ACFTA akan berdampak pada makin kuatnya produk Cina yang akan masuk ke Indonesia, apalagi dengan bebasnya biaya masuk atau pajak masuk produk barang yang di produksi oleh Cina, produk Cina memang begitu kuat pasarnya apalagi ditambah dengan bebasnya tarif pajak tersebut. Harga produk Cina pun bisa lebih murah daripada produk lokal. Tentu saja dengan adanya hal tersebut sebagian industri lokal banyak yang menolak akan adanya ACFTA.
    Walaupun perjanjian ACFTA ini sudah relatif lama diberlakukan Indonesia masih dikatakan sulit untuk mengimplementasikan perjanjian tersebut. Tekanan dari kalangan pengusaha industri lokal sangatlah kuat dan menandakan bahwa pengaruh akan adanya perjanjian ACFTA tersebut akan berdampak negatif pada usaha menengah mereka, bukan hanya para pengusaha industri saja para pekerja pun menyadari akan hal itu, walaupun pengaruh ACFTA belum mereka alami saat ini namun lambat laun para pekerja pun akan merasakan dampak yang diberikan oleh ACFTA. Situasi itulah yang dirasakan oleh negara Indonesia yang terbilang sebagai negara berkembang.
    Tidak dapat dipungkiri ACFTA sebagai produk globalisasi akan relatif berpengaruh bukan hanya terhadap negara maju saja tetapi berpengaruh juga terhadap negara-negara berkembang. Dengan adanya globalisasi di dunia ini telah membuat seakan negara satu dan negara lainya kehilangan batas-batas teritorialnya serta berujung pada hilangnya status “negara bangsa“.
    BAB III PENUTUP
    A. Simpulan
    1) ACFTA merupakan ajang persaingan global dalam bidang produksi barang maupun jasa yang diadakan sesuai dengan perjanjian Indonesia dan China pada awal januari 2010.
    2) Kalahnya strategi persaingan bangsa Indonesia terhadap China mendominasi perekonomian semakin terpuruk. Sikap pesimisme para produsen indonesia mewarnai perang industri ini dan dijadikan estimasi Indonesia untuk kalah bersaing.
    3) ACFTA dipandang terlalu agresif untuk melakukan liberalisasi ekonomi Indonesia yang menjadikan keterpurukan Indonesia semakin dalam.
    4) ACFTA menimbulkan dampak Positif dan negatif bagi perekonomian Indonesia. Namun hal ini tidak bisa dipungkiri dampak negatif dari adanya ACFTA mendominasi akan keterpurukan perekonomian Indonesia yang menjadi Bom Bunuh Diri bagi industri negara ini.
    B. Saran
    1) Pemerintah sepatutnya melakukan langkah antisipatif untuk memberikan kesempatan industri lokal berkembang, peningkatan kapasitas terpasang di seluruh cabang industri manufaktur, deregulasi perizinan, perbaikan infrastruktur listrik, jalan, dan pelabuhan, serta akses intermediasi perbankan yang menarik bagi investor dan peduli terhadap Market Domestic Obligation (MDO).
    2) UKM (usaha kecil menengah) perlu ditingkatkan guna memajukan daya saing produk yang semakin ketat. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan keringanan terhadap para wirausahawan dalam memperoleh kredit usaha.

    DAFTAR PUSTAKA
    1. http://www.walhi.or.id/component/content/article/132-kegiatan/644-acfta?lang=in
    2. http://blogs.unpad.ac.id/yogix/2010/02/22/apa-itu-acfta/
    3. http://kaumbiasa.com/dampak-acfta-pada-lingkungan-hidup.php
    4. http://radarbanten.com/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&artid=52586
    5. http://www.pusdima-fis.co.cc/2010/03/dampak-positif-dan-negatif-acfta.html

  13. SEPTIANAH Desember 1, 2010 pada 5:00 pm #

    Tugas Pengantar Bisnis

    Nama : SEPTIANAH
    NPM : 201003143
    Kelas/Semester : Karyawan/II
    Jurusan : Akuntansi
    Judul Makalah : “ACFTA DAN Pengaruhnya Terhadap Bisnis Di Banten”

    ASEAN – CHINA FREE TRADE AREA

    A. PENDAHULUAN

    Merupakan kesepakatan antara negara-negara anggota ASEAN dengan China untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas dengan menghilangkan atau mengurangi hambatan-hambatan perdagangan barang baik tarif ataupun non tarif, peningkatan akses pasar jasa, peraturan dan ketentuan investasi, sekaligus peningkatan aspek kerjasama ekonomi untuk mendorong hubungan perekonomian para Pihak ACFTA dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat ASEAN dan China.

    B. TUJUAN ASEAN-CHINA FTA
     Memperkuat dan meningkatkan kerjasama ekonomi, perdagangan, dan investasi antara negara-negara anggota.
     Meliberalisasi secara progresif dan meningkatkan perdagangan barang dan jasa serta menciptakan suatu sistem yang transparan dan untuk mempermudah investasi.
     Menggali bidang-bidang kerjasama yang baru dan mengembangkan kebijaksanaan yang tepat dalam rangka kerjasama ekonomi antara negara-negara anggota.
     Memfasilitasi integrasi ekonomi yang lebih efektif dari para anggota ASEAN baru (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam ±CLMV) dan menjembatani kesenjangan pembangunan ekonomi diantara negara-negara anggota

    C. PELUANG
     Meningkatnya akses pasar ekspor ke China dengan tingkat tarif yang lebih rendah bagi produk-produk nasional.
     Meningkatkanya kerjasama antara pelaku bisnis di kedua negara melalui pembentukan “Aliansi Strategis”.
     Meningkatnya akses pasar jasa di China bagi penyedia jasa nasional
     Meningkatnya arus investasi asing asal China ke Indonesia
     Terbukanya transfer teknologi antara pelaku bisnis di kedua negara.

    D. MANFAAT
    • Terbukanya akses pasar produk pertanian (Chapter 01 s/d 08 menjadi 0%) Indonesia ke China pada tahun 2004.
    • Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada tahun 2005 yang mendapatkan tambahan 40% dari Normal Track ( 1880 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%.
    • Terbukanya akses pasar ekspor Indonesia ke China pada tahun 2007 yang mendapatkan tambahan 20% dari Normal Track ( 940 pos tarif), yang diturunkan tingkat tarifnya menjadi 0-5%.
    • Pada tahun 2010, Indonesia akan memperoleh tambahan akses pasar ekspor ke China sebagai akibat penghapusan seluruh pos tarif dalam Normal Track China.
    • Sampai dengan tahun 2010 Indonesia akan menghapuskan 93,39% pos tarif (6.683 pos tarif dari total 7.156 pos tarif yang berada di Normal Track ), dan 100% pada tahun 2012.

    E. TANTANGAN
     Indonesia harus dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk China.
     Menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing.
     Menerapkan ketentuan dan peraturan investasi yang transparan, efisien dan ramah dunia usaha.
     Meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby

    F. ACFTA DI BANTEN

    Adanya kesepakatan negara Asean dengan China tentang perdagangan bebas Asean China Free Trade Agrement (ACFTA) akan memiliki potensi terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK) di Provinsi Banten, hal ini didasarkan adanya keluhan dari kalangan pengusaha, setelalx diberlakukannya perdagangan bebas.
    Dampak terhadap perdagangan bebas itu sangat besar. Bahkan dampak Ini terjadi Juga hampir di seluruh Indonesia. Perdagangan bebas akan berdampak sangat buruk bagi kegiatan industri di Banten, buntutnya akan terjadi PHK masal.
    Saat ini saja, akibat kesepakatan, sejumlah serikat buruh sudah memberikan reaksi dengan aksi unjukrasa di sejumlah wilayah. Tentunya berangkat dari mulai lesunya produksi akibat derasnya produk impor yang datang tidak terkendali. Namun ada yang berpendapat bahwa PHK secara besar-besaran tidak akan terjadi di Banten meskipun perdagangan bebas diberlakukan, alasanya, hampir 80 persen yang ada di Provinsi Banten dalam perusahaan yang hasil produksinya dikirim luar negeri.
    Kalau perusahaan ekspor itu tidak akan berdampak terhadap PHK. malah sebaliknya, perusahaan akan lebih banyak membutuhkan tenaga kerja lagi, karena permintaan di luar meningkat. Indikasi peningkatan itu jelas terlihat dari target penempatan kerja untuk tahun 2010 sebanyak 40.000 lebih, tak beda dari tahun sebelumnya.Target dalam menyerap tenaga kerja tidak berbeda dari tahun sebelumnya.

  14. Nuraeni Desember 8, 2010 pada 11:34 am #

    NAMA : NURAENI
    NPM : 200902657
    KELAS : EXCECUTIVE (RUANG E )

    STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH

    Kesenjangan dan kemiskinan masih merupakan problem bangsa Indonesia. Angka pengangguran pada tahun 2009 sekitar 8,1%; sedangkan angka kemiskinan 14,14% atau 32,5 juta dari total penduduk Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini seraya berusaha mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemerintah Indonesia telah melaksanakan Triple P Strategy: Pro Growth, Pro Poor, Pro Job. Pemerintah juga berusaha mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program Triple P tersebut. Demikian diutarakan Deputi Menneg PPN/ Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA, ketika memberi pengantar pada Seminar Sehari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia,
    KEMISKINAN DI BANTEN
    Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”
    Banten merupakan provinsi muda dengan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Hasil penelitian Dahnil A. Simanjuntak (2007), terhadap potret kemiskinan di Banten dengan menggunakan data skunder, Susenas 2002 dari Biro Pusat Statistik (BPS) melalui pengolahan dengan Software Stata 8 dan mencoba untuk membandingkan dengan kemiskinan secara nasional, menyatakan bahwa;
    Tabel
    Perbandingan P0,P1 Dan P2 Banten dengan Nasional
    Banten Nasional
    P0 0,1166587 0,2194155
    P1 0,190555 0,0408474
    P2 0,051961 0,0116656
    Berdasarkan Tabel di atas, tingkat kemiskinan (P0) di Banten sebesar 11,6% lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kemiskinan secara nasional yang mencapai angka 21,9%. Hal ini, menjelaskan bahwa pasca pemisahan Banten dari Jawa Barat, tingkat kemiskinan di Banten sedikit demi sedikit tereduksir. Hal ini juga dapat diamati melalui data tingkat kemiskinan sewaktu Banten masih bergabung dengan Jawa Barat. Jurang Kemiskinan (P1), di Banten menunjukkan angka 19,05% lebih besar dibandingkan dengan tingkat nasional 4,08%. Artinya jarak kemiskinan antara penduduk miskin dengan tidak miskin di Banten relatif tinggi dibandingkan dengan tingkat nasional. Hal ini dengan mudah dapat kita identifikasi, dengan kasat mata bagaimana tingkat kemakmuran warga kaya yang tinggal dibanyak perumahan mewah di Tangerang dibandingkan dengan tingkat kemakmuran masyarakat miskin di banyak pelosok desa di Pantura, Lebak dan Padeglang.
    Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), di Banten lebih besar dibanding secara nasional. Banten memiliki keparahan kemiskinan mencapai angka 0,51% sedangkan secara nasional hanya 0,11%. Artinya di Banten perbandingan antara yang miskin dengan yang kurang miskin lebih besar di banding secara nasional.
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Provinsi Banten pada bulan Maret 2007 sebanyak 886.100 orang atau 9,07 persen. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Juli 2005 yang berjumlah 830.500 orang atau 8,86 persen, berarti jumlah penduduk miskin naik sebesar 55.600 orang. Dari total penambahan jumlah penduduk miskin itu, selama periode Juli 2005 – Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 26.500 orang, sementara di perkotaan bertambah 29.100 orang. Jumlah penduduk miskin di Banten tersebar di enam kabupaten/kota. Pada 2004 penduduk miskin Kabupaten Pandeglang sebanyak 151.500 jiwa, 2005 naik menjadi 154.800 jiwa, 2006 kembali naik 170.250 jiwa. Lebak pada 2004 sebanyak 138.000 jiwa, tahun 2005 sebanyak 141.000 jiwa, tahun 2006 sebanyak 172.440 jiwa. Kabupaten Tangerang pada 2004 sebanyak 246.000 jiwa, tahun 2005 sebanyak 251.200 jiwa, tahun 2006 sebanyak 279.090 jiwa. Kabupaten Serang penduduk miskin pada 2004 berjumlah 166.700 jiwa, tahun 2005 196.800 jiwa, tahun 2006 sebanyak 170.780 jiwa. Kota Tangerang pada 2004 jumlah penduduk miskinnya hanya 62.400 jiwa, naik di tahun 2005 menjadi 68.000 jiwa, dan pada 2006 mencapai 95.140 jiwa. Kota Cilegon penduduk miskinnya pada 2004 berjumlah 14.500 jiwa, di tahun 2005 sebanyak 18.700 jiwa, dan pada 2006 sebanyak 16.580 jiwa. Meski beragam program dengan dana miliaran rupiah dikeluarkan masing-masing pemerintah daerah, namun masih ada saja warga miskin yang tetap dalam kemiskinan. Bahkan, ada juga warga miskin yang sama sekali tidak tahu ada program pengentasan kemiskinan.
    Gambaran singkat di atas adalah bagian dari potret kemiskinan di Banten. Belum lagi daerah lainnya, apalagi yang memiliki daerah-daerah terpencil, mungkin tingkat kemiskinannya lebih memilukan.
    Beranjang dari realita yang menyedihkan di atas, maka seyogyanya semua pihak yang terkait harus bersatu padu, bekerja keras dan serius untuk mengatasi masalah yang ada, terlebih mampu mengakhiri kemiskinan di Banten. Sebagai provinsi yang tergolong muda, Provinsi Banten harus bekerja ekstra untuk mengeluarkan masyarakat dari jerat kemiskinan. Pemerintah Daerah merupakan pihak utama yang harus bertanggungjawab untuk membuat kebijakan-kebijakan yang ”operasional” guna mendorong dan menekan angka kemiskinan.
    Pihak swasta yang ”bercokol” di wilayah Banten, pun tidak luput dari tanggungjawabnya. Mereka memiliki tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap lingkungan sekitar untuk membantu memberdayakan masyarakat dalam berbagai bidang. Melihat realita di atas, bidang-bidang yang mestinya dijadikan prioritas adalah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat. Ketiga bidang tersebut merupakan bidang yang sangat vital. Bayangkan saja, jika secara ekonomi tidak berdaya, kesehatan yang buruk dan ditambah pendidikan yang terbelakang, lalu mau bagaimana?.
    Beberapa langkah dalam upaya menekan angka kemiskinan di Banten adalah sebagai berikut:
    pertama, Pihak yang berkepentingan (pemerintah dan swasta utamanya) harus memiliki political will yang kuat. Kemiskinan adalah masalah serius. Mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan harus menjadi ”kewajiban” yang mendesak bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah dan sektor swasta. Tanpa keinginan dan tekad yang kuat, sepertinya mustahil penyakit miskin itu bisa diatasi. Program dan kebijakan yang dibuat harus mencerminkan prioritas yang tinggi untuk mengatasi kemiskinan, bukan program dan kebijakan yang setengah-setengah yang hanya memboroskan anggaran. Kebijakan, program, dan anggaran harus pro-rakyat.
    Kedua, melakukan pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam berbagai kegiatan. Terutama kegiatan ekonomi. Partisipasi masyarakat dalam menggerakan ekonomi lokal harus didorong secara sistematis dan simultan. Potensi-potensi lokal di provinsi banten harus digali dan dikembangkan. Masyarakat sekitar pun harus merasakan ”manisnya”, bukan kepahitan seperti dampak limbah, kebisingan, polusi dan hal merugikan lainnya.
    Ketiga, mendorong masyarakat untuk berwirausaha, terutama kalangan petani dan buruh tani. Mereka harus didorong dan diberikan semacam pelatihan/pendidikan untuk berwirausaha. Tidak ada negara yang berdaya, negara yang maju, tanpa wirausaha dari masyarakatnya. Wirausaha berbasis pertanian dan wirausaha berbasis ekonomi kreatif harus digalakkan demi terciptanya masyarakat yang mandiri.
    Keempat, kesinambungan program. Acapkali, program yang dibuat hanya berfungsi ”menutupi luka” dalam jangka pendek, bukan mengobati sampai tuntas. Program pemberdayaan masyarakat harus dijalankan secara kesinambungan dengan evalusi dan monitoring yang baik. Kontrol kebijakan jangan hanya melaporkan baiknya saja, akan tetapi keburukan/kekurangan dalam implementasi kebijakan yang sebetulnya lebih dominan harus menjadi bahan kajian, bahan koreksi, dan menjadi bahan referensi untuk menuju kepada kondisi yang lebih baik.
    PNPM Dorong Turunkan Kemiskinan
    “Pemerintah terus berupaya melakukan langkah dan programstrategis untuk menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran, salah satunya melalui PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan ” kata Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah usai bertemu 758 pelaku PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaandi Anyer Serang, Kamis.

    Ratu Atut Chosiyah mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam satu tahun angka kemiskinan di Provinsi Banten menurun sekitar 29.900 orang, yakni sebanyak 788.100 orang dari tahun 2009 menjadi 758,200 orang pada 2010, dari jumlah penduduk Banten saat itu sekitar 9 juta lebih.
    Pada 2011 pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan, baik program inti maupun pendukung diharapkan bisa lebih optimal, dengan melakukan evaluasi, koordinasi serta memprioritaskan berbagai persoalan di perdesaan dan perkotaan.Dengan demikian upaya pengurangan angka kemisikan dan pengangguran bisa lebih banyak dari tahun sebelumnya.
    “Di antara yang mendorong terhadap pembangunan ekonomi di perdesaan dan perkotaan tersebut melalui program simpan pinjam dari PNPM mandiri yang dikelola perempuan, juga pembangunan infrastruktur pedesaan” katanya.
    Pemerintah Provinsi Banten, kata dia, juga berupaya mengurangi pengangguran dengan menyediakan lowongan pekerjaan, di antaranya melalui “job fair” yang dilaksanakan Dinas Tenaga Kerja dan “job matching” yang diselengarakan Dinas Pendidikan Provinsi Banten.
    Berdasarkan data BPS, angka pengangguran di Banten menurun dari 2009 sebanyak 652.462 orang menjadi sebanyak 627.828 orang pada 2010, atau terjadi penurunan 24.634 orang.
    “Ini sebagai bukti bahwa selama ini pemerintah Provinsi Banten bersama seluruh masyarakat terus berupaya melakukan perubahan,” katannya.

    Dalam kesempatan tersebut, gubernur memberikan apresiasi bagi para pelaku PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan dalam bentuk uang tunai Rp1 juta per bulan. Bantuan itu diberikan selama tiga bulan, melalui forum masing-masing seperti forum Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dan Badan Kordinasi Antar Desa (BKAD).
    Total anggaran yang dialokasikan untuk uang apresiasi itu sebesar Rp1,1 miliar dari APBD 2010, yang akan diserahkan pada 758 pelaku PNPM mandiri di daerah itu.
    Ketua Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dari Kecamatan Sindangsari Kabupaten Pandeglang Supriatna mengatakan, program PNPM Mandiri Pedesaan teleh memberikan kontribusi besar bagi pembangunan fisik maupun non fisik seperti bentuk bantuan modal simpan pinjam, kondisi tersebut terutama sangat dirasakan bagi masyarakat di perdesaan.

    Sebagai contoh, kata dia, di Desa Pasir Loa Kecamatan Sindangsari Pandeglang, dengan adanya pembangunan jalan desa melalui program PNPM Mandiri Pedesaan, telah mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, yakni memudahkan akses terhadap pusat kegiatan ekonomi, kesehatan maupun pendidikan.
    Gubernur mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam satu tahun angka kemiskinan di Provinsi Banten menurun sekitar 29.900 orang, yakni sebanyak 788.100 orang dari tahun 2009 menjadi 758,200 orang pada 2010 dari jumlah penduduk Banten saat itu sekitar 9 juta lebih.
    Menurutnya, pada 2011 pelaksanaan PNPM mandiri baik program inti maupun program pendukung diharapkan bisa lebih optimal, dengan melakukan evaluasi, koordinasi serta memprioritaskan persoalan-persoalan di perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian upaya pengurangan angka kemisikan dan pengangguran bisa lebih banyak dari tahun sebelumnya.
    “Diantara yang mendorong terhadap pembangunan ekonomi di perdesaan dan perkotaan tersebut melalui program simpan pinjam dari PNPM Mandiri yang dikelola perempuan, juga pembangunan infrastruktur pedesaan” kata gubernur.
    Selain angka pengangguran, kata dia, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Provinsi Banten seperti membuka kesempatan kerja melalui “Job Fair” Dinas Tenaga Kerja dan “Job Matching” yang diselengarakan Dinas Pendidikan Provinsi Banten, juga merupakan salah satu upaya dalam mengurangi angka pengangguran di Banten.
    Menurut data BPS, kata Ibu Hj. Ratu Atut, angka pengangguran di Banten menurun dari 2009 sebanyak 652.462 orang menjadi sebanyak 627.828 orang pada 2010. Dengan demikian, dalam kurun waktu satu tahun angka pengangguran di Banten turun sebanyak 24.634 orang.”Ini sebagai bukti bahwa selama ini pemerintah Provinsi Banten bersama seluruh masyarakat terus berupaya melakukan perubahan,” katannya.
    Dalam kesempatan tersebut, gubernur memberikan atas kerja keras dan upaya para pelaku PNPM Mandiri, Gubernur Banten menyerahkan apresiasi dalam bentuk uang sebesar Rp.1 juta perbulan, selama tiga bulan untuk pelaku PNPM melalui forum masing-masing seperti forum Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dan Badan Kordinasi Antar Desa (BKAD). Anggaran yang dikeluarkan dari APBD Banten untuk pemberian apresiasi bagi 758 pelaku PNPM tersebut sekitar Rp. 1,1 miliar.

  15. iis cahyati Desember 9, 2010 pada 8:22 am #

    Strategi Penangggulangan Kemiskinan di Daerah

    Kemiskinan merupakan fenomena global, bahkan PBB menginisiasi MDGS (Milenium Development Goal’s) sebagai sinyal dan kesadaran bersama (common sense) bahwa kemiskinan merupakan musuh peradaban dan harus dilawan. Kemiskinan saat ini telah menjadi atribut bagi Negara dunia ketiga, yang rata-rata adalah Negara yang sedang berkembang (Developing Countries) dan Negara terbelakang (Underdeveloped Countries).Di Indonesia, fenomena dan angka kemiskinan menjadi perdebatan riuh dikalangan ekonom, pemerintah dan politisi, bahkan data kemiskinan seringkali menjadi alat politik bagi pemerintah maupun politisi di legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Dalam makalah ini saya mencoba meretas fenomena kemiskinan di tingkat daerah, yakni Provinsi Banten, salah satu provinsi termuda di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk membantu analisa dalam makalah ini, saya mempergunakan data terbaru publikasi BPS,BI,NHDR-UNDP dan 4 (empat) hasil penelitian tentang kemiskinan di Banten yang saya lakukan bersama Lembaga Kajian Pembangunan Indonesia (LKPI) pada tahun 2006 dan 2007.

    Defenisi Kemiskinan

    Secara harafiah, kemiskinan berasal dari kata dasar miskin diberi arti “tidak berharta-benda” (Poerwadarminta, 1976). Dalam pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu kondisi ketidak-mampuan baik secara individu, keluarga maupun kelompok, sehingga kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain. Biro Pusat Statistik (BPS) yang datanya banyak digunakan dalam makalah ini, mendefenisikan bahwa kemiskinan adalah kondisi seseorang yang dianggap miskin apabila dia tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimal. Kebutuhan hidup minimal itu adalah kebutuhan untuk mengkonsumsi makanan dalam takaran 2100 kilo kalori per orang per hari dan kebutuhan minimal non makanan seperti perumahan, pendidikan, kesehatan dan transportasi. Jadi ada kebutuhan makanan dalam kalori dan kebutuhan non makanan dalam rupiah. Kebutuhan dalam rupiah tersebut pada tahun 2009 adalah Rp. 261.898 (Kota+Desa) atau Rp. 292.428 untuk daerah perkotaan dan Rp.249.546 untuk daerah pedesaan.

    Berbagai sudut pandangan tentang pengertian kemiskinan, pada dasarnya dapat dikelompokkan ke dalam tiga bentuk , yakni kemiskinan struktural, kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan Struktur adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Kemiskinan absolut adalah kondisi kemiskinan yang terburuk yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk membiayai kebutuhan yang paling minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat hidup sesuai dengan martabat kemanusiaan Ginanjar (1997). Sedangkan, kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desalain. Menurut Nasikun (1995), kondisi yang sesungguhnya harus dipahami mengenai kemiskinan: “Kemiskinan adalah sebuah fenomena multifaset, multidimensional, dan terpadu. Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Hidup dalam kemiskinan seringkali juga berarti akses yang rendah terhadap berbagai ragam sumberdaya dan aset produktif yang sangat diperlukan untuk dapat memperoleh sarana pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup yang paling dasar tersebut, antara lain: informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan kapital. Lebih dari itu, hidup dalam kemiskinan sering kali juga berarti hidup dalam alienasi, akses yang rendah terhadap kekuasaan, dan oleh karena itu pilihan-pilihan hidup yang sempit dan pengap”. Pandangan ini mengisyaratkan, bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya berdiri sendiri, sehingga dalam penanggulangannya menuntut pemahaman, kecermatan dan kehati-hatian. Di dalam diri masyarakat miskin tidak hanya terdapat kelemahan (kondisi serba kekurangan), tetapi dalam diri mereka juga terdapat potensi yang dapat dipergunakan sebagai modal dasar dalam pengembangan dirinya. Kondisi ini mengisyaratkan bahwa program penanggulangan kemiskinan harus mampu mengakomodasikan kedua aspekter sebut. Menurut Koenraad Verhagen, (1996), melebih-lebihkan kemiskinan kita cenderung melupakan apa yang mereka miliki. Orang-orang miskin bukanlah orang-orang yang “tidak memiliki” (havenot). Dari sudut pandang ekonomi mereka adalah orang-orang yang memiliki sedikit” (have-little) di sisi lain orang-orang miskin memiliki kekayaan budaya dan sosial. Berkaitan dengan pandangan ini, Gunawan Sumodiningrat (1977) mengemukakan, bahwa strategi untuk memberdayakan masyarakat terdapat tiga hal yang harus dilakukan yaitu: (1) Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang; (2) memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering); dan (3) Pemberian perlindungan, dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi lebih lemah.
    Bank Dunia (World Bank) mendefenisikan kemiskinan dengan ukuran pendapatan $ 1/hari, pada akhir tahun 2006 melalui publikasi jumlah keluarga miskin di Indonesia, menaikkan ukurannya dengan $ 2/hari, rumah tangga yang memiliki pendapatan dibawah $2/hari maka akan diklasifikasikan sebagai keluarga miskin. Dalam penelitiannya. Gunawan dan kawan-kawan (2006) tentang masyarakat miskin kota di DKI. Jakarta, menyimpulkan bahwa kemampuan mereka untuk keluar dari permasalahan kemiskinan relatif sulit. Pelbagai kasus, pendapatan (hasil), keterampilan dan pendidikan yang rendah merupakan suatu mata rantai. Keduanya saling berkaitan dan saling berpengaruh. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan pandangan dari Jalaludin Rachmat (1999), bahwa produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah menyebabkan pendidikan rendah. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Kualitas SDM yang rendah menyebabkan produktivitas yang rendah dan terus begitu. Rangkaian tersebut sering disebut sebagai vicious circle atau lingkaran setan kemiskinan. bahwa kemampuan mereka untuk keluar dari permasalahan kemiskinan relatif sulit. Pada kasus ini, pendapatan (hasil), keterampilan dan pendidikan yang rendah merupakan suatu mata rantai. Keduanya saling berkaitan dan saling berpengaruh. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan pandangan dari Jalaludin Rachmat (1999), bahwa produktivitas yang rendah, pendapatan yang rendah menyebabkan pendidikan rendah. Pendidikan yang rendah mengakibatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Kualitas SDM yang rendah menyebabkan produktivitas yang rendah dan terus begitu. Rangkaian tersebut sering disebut sebagai vicious circle atau lingkaran setan kemiskinan.

    Peran Pemerintah dalam Penelitian Godwin Limberg Dkk (2006), tentang peran pemerintah lokal untuk mengurangi kemiskinan memberikan kesimpulan, bahwa. pelbagai program yang ditetapkan oleh pemerintah pusat telah mendorong persyaratan birokratis yang rumit, sehingga pemerintah daerah enggan untuk memenuhinya dan lebih suka menggunakannya untuk kepentingan mereka sendiri. Pelbagai inisiatif pemerintah daerah untuk membangun perekonomian jarang mencapai kaum miskin, justru meningkatkan kerentanan mereka terhadap kemiskinan. Penelitian yang didasari pengamatan tahun 2003 dan 2005 tersebut, juga menjelaskan mengenai kinerja buruk pemerintah daerah, melalui pelembagaan yang lemah, pelbagai informasi dan strategi yang tidak jelas dan kurangnya partisipasi dari masyarakat miskin itu sendiri.

    Kemiskinan Banten Dalam Angka

    Sebelum melihat kemiskinan Banten secara spesifik, mari kita lihat angka kemiskinan di Indonesia secara umum. Jumlah orang miskin di Indonesia tahun 2009 adalah 32.529.970 orang atau 14,15% , dari total penduduk 225,64 juta jiwa, pemerintah mentargetkan pada tahun 2010 jumlah orang miskin berkurang sebanyak 2.201.000 orang atau menjadi sebanyak 30.328.970 orang atau 13%. Dengan begitu diharapkan banten juga mampu mengikuti target pengurangan jumlah orang miskin yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat tersebut, berdasarkan target yang telah dibuat oleh pemerintah pusat maka diharapkan pada tahun 2010 penurunan jumlah penduduk miskin di Banten menurun sebanyak 4,7% atau sebanyak 44.920 orang, dengan kondisi jumlah penduduk miskin Banten pada saat ini berjumlah 788.067 orang atau 7,64%, maka 2010 jumlah penduduk miskin di Banten minimal menjadi 743.147 orang atau sekitar 7,4% daritotaljumlahpendudukbantensebanyak9,7jutajiwa. Berikut perkembangan jumlah penduduk miskindiPropinsiBantensejaktahun2002-2009:

    Tabel1
    Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin diBanten Menurut Daerah, 2002-2009
    Jumlah Penduduk Miskin Persentase Penduduk Miskin.
    Tahun Kota Desa Kota+Desa Kota Desa Kota+Desa
    2002 305,8 480,9 786,7 6,47 12,64 9,22
    2003 309,4 546,4 855,8 6,62 12,79 9,56
    2004 279,9 499,3 779,2 5,69 11,99 8,58
    2005 370,2 460,3 830,5 6,56 12,34 8,86
    2006 417,1 487,3 904,3 7,47 13,34 9,79
    2007 399,4 486,8 886,2 6,79 12,52 9,07
    2008 371,0 445,7 816,7 6,15 11,18 8,15
    2009 348,7 439,3 788,1 5,62 10,70 7,64
    Sumber: Publikasi BPS 2009.

    Jumlah dan persentase penduduk miskin Propinsi Banten pada periode 2002-2009 seperti tercantum pada tabel 1 memperlihatkan besaran yang berfluktuasi. Sampai dengan tahun 2006, kemiskinan di Banten tiap tahunnya menunjukan trend yang bergerak naik. Tahun 2002 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 786.700 orang, dan mengalami kenaikan pada tahun 2003 menjadi sebesar 855.800 orang. Pada tahun 2004 penduduk miskin berkurang hingga masih ada sebesar 779.200 orang. Namun pada tahun 2005, terjadi kembali sedikit kenaikan jumlah penduduk miskin, menjadi 830.500 (8,86 persen), yang diduga terjadi akibat kenaikan harga BBM (tahap 1) pada bulan Maret 2005. Pada tahun 2006, kembali terjadi kenaikan penduduk miskin yang sangat besar mengingat pada periode penghitungan tersebut (Juli 2005-Maret 2006), pemerintah kembali menaikan harga BBM(tahap 2) pada bulan Oktober 2005, yang menjadi pemicu inflasi pada bulan tersebut sebesar 6,88 persen. Akibatnya penduduk yang tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Sehingga pada tahun 2006 tercatat sebesar 904.300 penduduk (9,79 persen) berada di bawah garis kemiskinan. Pada tahun 2007 sampai dengan sekarang, maraknya program-program anti kemiskinan yang digulirkan oleh pemerintah seperti BLT, PNPM Mandiri, P2KP dan lain sebagainya, membuat jumlah penduduk miskin terkoreksi dan mengalami penurunan. Pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 886.200 orang (9,07 persen), kemudian pada tahun 2008 menurun menjadi 816.742 orang (8,15 persen), hingga pada tahun 2009 ini jumlah penduduk miskin turun sebesar 788.067 orang atau sekitar 7,64 persen penduduk berada dibawah garis kemiskinan.

    Penurunan jumlah penduduk miskin pada tahun 2007 ke 2008, 2008 ke 2009, dibeberapa media cetak lokal sempat diklaim pemerintah daerah Provinsi Banten sebagai prestasi yang membanggakan bagi kinerja pemerintah provinsi Banten, padahal seperti yang dijelaskan diatas, bahwa penurunan jumlah penduduk miskin di Banten lebih karena kebijakan ekspansif yang dilakukan oleh pemerintah pusat dalam rangka mengurangi “angka” jumlah kemiskinan secara kuantitatif melalui kebijakan BLT, PNPM, P2KP dan program sejenis lainnya. justru, saya melihat pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah Kabupaten/Kota di Banten agak absent terhadap kebijakan pengentasan kemiskinan di daerahnya. Indikator lain yang tak kalah penting adalah adalah Jurang kemiskinan (P1) dan Keparahan Kemiskinan (P2). Pada periode Maret 2008-Maret 2009, Indeks Jurang Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) seperti terlihat di tabel 2, menunjukkan kenaikan yaitu dengan Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) tahun 2008 sebesar 1,12 menjadi sebesar 1,32 pada tahun 2009. Angka ini mengindikasikan bahwa rata-rata pengeluaran penduduk miskin cenderung makin menjauh dari garis kemiskinan.Demikian pula untuk Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) yang menunjukan angka 0,28 pada tahun 2008 menjadi 0,33 pada tahun 2009 (Tabel 3). Indeks ini mengindikasikan adanya ketimpangan pengeluaran antara penduduk miskin yang semakin melebar. Jika dirinci menurut daerah kota/desa, terlihat kenaikan indeks P1 dan P2 hanya terjadi pada wilayah perdesaan saja sedang untuk daerah perkotaan, indeksnya malah mengalami penurunan. Hal ini menjadi suatu indikasi awal yang harus dikaji secara lebih lanjut, bahwa terjadi perbedaan tingkat kedalaman dan keparahan kemiskinan pada daerah perdesaan yang semakin besar dibandingkan dengan penduduk miskin pada wilayah perkotaan.

    Tabel 2
    Indeks Jurang Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
    diBanten Menurut Daerah, Maret 2008-Maret 2009
    Tahun Kota Desa Kota+Desa
    Indeks Jurang Kemiskinan (P1)
    Maret 2008 1,04 1,25 1,1
    Maret 2009 0,93 1,91 1,3
    Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
    Maret 2008 0,31 0,23 0,28
    Maret 2009 0,21 0,50 0,33
    Sumber: Publikasi BPS, Maret 2009
    Sebaran kemiskinan Banten berdasarkan Kabupaten dan Kota di Banten masih terpusat di Selatan Banten yakni Kabupaten Lebak dan Pandeglang. Berikut data lengkapnya:

    Tabel 3
    Persentase Penduduk Miskin berdasarkan Kota/Kabupaten
    diBanten,Tahun 2002-2009
    Kab/Kota Persentase Penduduk (with Poor Line Method)
    2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
    Pandeglang 15,11 15,40 13,77 13,89 15,82 15,64
    Lebak 16,16 13,45 12,09 12,29 14,55 14,43
    Tangerang 7,00 8,40 7,70 7,50 8,28 7,18
    Serang 9,80 10,29 9,11 10,47 9,55 9,47
    Kota Tangerang 4,38 4,81 4,19 4,39 6,41 4,92
    Cilegon 6,42 5,36 4,42 5,55 4,99 4,71
    Banten 9,22 9,56 8,58 8,86 9,79 9,07 8,15 7,64
    Sumber : Biro Pusat Statistik

    Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan diBanten

    Dari Tabel 1, 2 dan 3 meskipun secara agregat penduduk miskin di Banten terus menurun, seperti saya jelaskan diatas bukan dikarenakan kebijakan pemerintah daerah Propinsi atau Kabupaten/Kota di Banten, namun lebih karena kebijakan pemerintah pusat, pemerintah daerah baik Propinsi dan Kabupaten/Kota tidak memiliki strategi yang riil dalam menekan angka kemiskinan daerahnya, alokasi anggaran pada APBD baik propinsi maupun kabupaten/kota tidak menunjukkan bahwa pemerintah memiliki program riil pengentasan kemiskinan di daerahnya. Oleh sebab itu pemerintah daerah baik Propinsi dan Kabupaten/Kota di Banten, harus memberikan perhatian ekstra terhadap permasalahan kemiskinan ini, karena apabila tidak ditangani secara serius maka kemiskinan di Banten akan mengarah kepada kemiskinan struktural, mengingat bahwa ada 3 faktor mendasar penyebab kemiskinan di Banten yang cukup tinggi.
    Pertama. Rendahnya pendidikan sebagian besar masyarakat Banten. Berdasarkan publikasi NHDR-UNDP, dan BI pada tahun 2009, lebih dari 50% orang miskin di Banten tidak lulus Sekolah Dasar (SD), dan tingginya jumlah anak putus sekolah yang mencapai 9.087 siswa, serta jumlah penduduk yang buta huruf cukup besar yakni 500.000 orang lebih. Rendahnya pendidikan ini mendorong kemiskinan di Banten di perkuat dengan tingkat pengangguran yang tinggi di Banten, yang mencapai 15,18 per agustus 2008, dan pengangguran yang tinggi justru terjadi di daerah Industri seperti Cilegon,Kabupaten dan Kota Tangerang, hal ini membuktikan bahwa terjadi mismatch sumber daya manusia yang tersedia dengan kebutuhan indutri di daerah-daerah bersangkutan, penurunan kontribusi sektor pertanian dipedesaan juga ikut mendorong kemiskinan tersebut, dimana rata-rata pekerja pertanian di desa berpendidikan rendah, sedangkan industri tidak tumbuh didaerah-daerah Selatan Banten, seperti Pandeglang dan Lebak, karena keterbatasan akses dan infrastruktur yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah Daerah Propinsi Banten maupun Kabupaten/Kota.

    Kedua. Inflasi, kemiskinan di Indonesia sangat sensitif dengan kenaikan harga atau Inflasi, demikian juga dengan kemiskinan di Banten. inflasi tertinggi berdasarkan daerah justru terjadi di daerah episentrum kemiskinan yakni daerah Selatan Banten. Pandeglang 16,5%, dan Lebak 15,10% , sedangkan terendah adalah Kota Tangerang 12,84. Inflasi yang tinggi di Selatan Banten menyebabkan daya beli masyarakat Selatan Banten tergerus. Inflasi yang tinggi terjadi di Selatan Banten disebabkan oleh, buruknya Infrastruktur aksebtibilitas jalan menuju selatan Banten, sehingga distribusi barang menjadi mahal dan langka. Padahal, infrastruktur adalah tugas utama pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota, maka apabila tidak ada kebijakan yang ekspansif untuk membenahi infrastruktur khususnya jalan maka tekanan kemiskinan karena inflasi akan semakin menjerumuskan penduduk Selatan Banten kedalam jurang kemiskinan.
    Ketiga. Sumber Daya Alam (endowment) yang relatif terbatas dan budaya masyarakat yang belum mengedepankan produktivitas, dan dayasaing. Upaya Pemerintah Daerah Upaya pemerintah daerah Propinsi Banten untuk mengentaskan kemiskinan di Banten, setidaknya diatas kertas dituangkan melalui 9 (Sembilan) prioritas pembangunan daerah, yakni, (1) Pengembangan ekonomi lokal berbasis pertanian (tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, perikanan, kelautan dan pariwisata), (2) Penataan ulang struktur industri yang berdaya saing dengan prioritas penggunaan bahan baku lokal unggulan, (3) Peningkatan akses, mutu, relevansi dan tata kelola pelayanan pendidikan, (4) Pengembangan Bridging Programme (kesetaraan/ jembatan penghubung) antara dunia pendidikan dengan dunia usaha, (5) Peningkatan promosi, pelayanan kesehatan dan pengembangan usaha kesehatan berbasis masyarakat, (6) Pengembangan kapasitas kelembagaan sosial-ekonomi berbasis masyarakat, (7) Restrukturisasi, refungsionalisasi dan revitalisasi lembaga-lembaga pemerintahan, kemasyarakatan, adat sebagai wahana kearah terwujudnya Entrepreneurial Goverment (Pemerintah yang Berjiwa Kewirausahaan), (8)Pengembangan wilayah produktif (wilayah pertumbuhan ekonomi tinggi) dengan infrastruktur yang memadai, (9) Pengembangan kawasan dan wilayah strategis melalui pola multigates system (3 pintu keluar-masuk wilayah Banten).
    Faktanya, prioritas diatas kertas tersebut absen di tataran operasional, merujuk kepada APBD Banten memang menunjukkan peningkatan secara kumulatif, misal pada tahun 2008 dalam APBD-P dari Rp. 2.154 milyar menjadi Rp. 2.402 milyar, namun apabila ditelusuri lebih lanjut alokasi pro-poor justru nyaris tak berbunyi. Belanja daerah masih besar pada belanja tidak langsung atau lebih dikenal sebagai belanja aparatur. Dari 9 (Sembilan) prioritas pembangunan tersebut diatas, sulit diidentifikasi operasionalisasinya dalam belanja dan kegiatan pemerintah daerah, belum lagi pembenahan infrastruktur tidak kunjung menunjukkan usaha yang maksimal dari pemerintah daerah. Misal, dari 889 kilometer jalan di Propinsi Banten 40%-nya dalam keadaan rusak. Jadi, apabila kita pertemukan dengan 3 faktor penyebab kemiskinan yang saya identifikasi jelas sulit menilai pemerintah daerah telah berusaha secara konkret untuk membenahi faktor penyebab kemiskinan tersebut, usaha untuk membenahi sumber daya manusia di Banten, tidak tercermin dari alokasi anggaran pendidikan di sektor pendidikan yang masih jauh dari 20%, demikian juga dengan APBD daerah episentrum kemiskinan seperti Pandeglang dan Lebak yang relatif sangat kecil. Prioritas pembangunan pertanian juga tidak menunjukkan komitmen yang kuat melalui alokasi di APBD maupun melalui program dan operasional konkret, fakta ini diperkuat dengan fakta bahwa sektor ini justru terus tergerus kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi, belum lagi reformasi birokasi yang nyaris tak terdengar dan terlihat.(Makalah ini, disampaikan pada Lokakarya, kemiskinan dan Rokok yang diadakan oleh Lembaga DemografiFE. UI diHotel LeDian, 31Maret2009) Daftar Bacaan BI. 2008. “Kajian Ekonomi RegionalBanten”.Serang.BPS. 2009. “Berita Resmi Statistik Banten”. Serang. BPS Propinsi Banten.BPS. 2008. “Berita Resmi Statistik Banten”. Serang. BPS Propinsi Banten.
    UNDP. 2009. “National Human Development Report for Indonesia”. Jakarta.

  16. NURAENI Desember 9, 2010 pada 1:00 pm #

    NAMA : NURAENI
    NPM : 200902657
    KELAS : EXCECUTIVE (RUANG E)

    STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH

    Kesenjangan dan kemiskinan masih merupakan problem bangsa Indonesia. Angka pengangguran pada tahun 2009 sekitar 8,1%; sedangkan angka kemiskinan 14,14% atau 32,5 juta dari total penduduk Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini seraya berusaha mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemerintah Indonesia telah melaksanakan Triple P Strategy: Pro Growth, Pro Poor, Pro Job. Pemerintah juga berusaha mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program Triple P tersebut. Demikian diutarakan Deputi Menneg PPN/ Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA, ketika memberi pengantar pada Seminar Sehari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia,
    KEMISKINAN DI BANTEN
    Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”
    Banten merupakan provinsi muda dengan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Hasil penelitian Dahnil A. Simanjuntak (2007), terhadap potret kemiskinan di Banten dengan menggunakan data skunder, Susenas 2002 dari Biro Pusat Statistik (BPS) melalui pengolahan dengan Software Stata 8 dan mencoba untuk membandingkan dengan kemiskinan secara nasional, menyatakan bahwa;
    Tabel
    Perbandingan P0,P1 Dan P2 Banten dengan Nasional
    Banten Nasional
    P0 0,1166587 0,2194155
    P1 0,190555 0,0408474
    P2 0,051961 0,0116656
    Berdasarkan Tabel di atas, tingkat kemiskinan (P0) di Banten sebesar 11,6% lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kemiskinan secara nasional yang mencapai angka 21,9%. Hal ini, menjelaskan bahwa pasca pemisahan Banten dari Jawa Barat, tingkat kemiskinan di Banten sedikit demi sedikit tereduksir. Hal ini juga dapat diamati melalui data tingkat kemiskinan sewaktu Banten masih bergabung dengan Jawa Barat. Jurang Kemiskinan (P1), di Banten menunjukkan angka 19,05% lebih besar dibandingkan dengan tingkat nasional 4,08%. Artinya jarak kemiskinan antara penduduk miskin dengan tidak miskin di Banten relatif tinggi dibandingkan dengan tingkat nasional. Hal ini dengan mudah dapat kita identifikasi, dengan kasat mata bagaimana tingkat kemakmuran warga kaya yang tinggal dibanyak perumahan mewah di Tangerang dibandingkan dengan tingkat kemakmuran masyarakat miskin di banyak pelosok desa di Pantura, Lebak dan Padeglang.
    Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), di Banten lebih besar dibanding secara nasional. Banten memiliki keparahan kemiskinan mencapai angka 0,51% sedangkan secara nasional hanya 0,11%. Artinya di Banten perbandingan antara yang miskin dengan yang kurang miskin lebih besar di banding secara nasional.
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Provinsi Banten pada bulan Maret 2007 sebanyak 886.100 orang atau 9,07 persen. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Juli 2005 yang berjumlah 830.500 orang atau 8,86 persen, berarti jumlah penduduk miskin naik sebesar 55.600 orang. Dari total penambahan jumlah penduduk miskin itu, selama periode Juli 2005 – Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 26.500 orang, sementara di perkotaan bertambah 29.100 orang. Jumlah penduduk miskin di Banten tersebar di enam kabupaten/kota. Pada 2004 penduduk miskin Kabupaten Pandeglang sebanyak 151.500 jiwa, 2005 naik menjadi 154.800 jiwa, 2006 kembali naik 170.250 jiwa. Lebak pada 2004 sebanyak 138.000 jiwa, tahun 2005 sebanyak 141.000 jiwa, tahun 2006 sebanyak 172.440 jiwa. Kabupaten Tangerang pada 2004 sebanyak 246.000 jiwa, tahun 2005 sebanyak 251.200 jiwa, tahun 2006 sebanyak 279.090 jiwa. Kabupaten Serang penduduk miskin pada 2004 berjumlah 166.700 jiwa, tahun 2005 196.800 jiwa, tahun 2006 sebanyak 170.780 jiwa. Kota Tangerang pada 2004 jumlah penduduk miskinnya hanya 62.400 jiwa, naik di tahun 2005 menjadi 68.000 jiwa, dan pada 2006 mencapai 95.140 jiwa. Kota Cilegon penduduk miskinnya pada 2004 berjumlah 14.500 jiwa, di tahun 2005 sebanyak 18.700 jiwa, dan pada 2006 sebanyak 16.580 jiwa. Meski beragam program dengan dana miliaran rupiah dikeluarkan masing-masing pemerintah daerah, namun masih ada saja warga miskin yang tetap dalam kemiskinan. Bahkan, ada juga warga miskin yang sama sekali tidak tahu ada program pengentasan kemiskinan.
    Gambaran singkat di atas adalah bagian dari potret kemiskinan di Banten. Belum lagi daerah lainnya, apalagi yang memiliki daerah-daerah terpencil, mungkin tingkat kemiskinannya lebih memilukan.
    Beranjang dari realita yang menyedihkan di atas, maka seyogyanya semua pihak yang terkait harus bersatu padu, bekerja keras dan serius untuk mengatasi masalah yang ada, terlebih mampu mengakhiri kemiskinan di Banten. Sebagai provinsi yang tergolong muda, Provinsi Banten harus bekerja ekstra untuk mengeluarkan masyarakat dari jerat kemiskinan. Pemerintah Daerah merupakan pihak utama yang harus bertanggungjawab untuk membuat kebijakan-kebijakan yang ”operasional” guna mendorong dan menekan angka kemiskinan.
    Pihak swasta yang ”bercokol” di wilayah Banten, pun tidak luput dari tanggungjawabnya. Mereka memiliki tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap lingkungan sekitar untuk membantu memberdayakan masyarakat dalam berbagai bidang. Melihat realita di atas, bidang-bidang yang mestinya dijadikan prioritas adalah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat. Ketiga bidang tersebut merupakan bidang yang sangat vital. Bayangkan saja, jika secara ekonomi tidak berdaya, kesehatan yang buruk dan ditambah pendidikan yang terbelakang, lalu mau bagaimana?.
    Beberapa langkah dalam upaya menekan angka kemiskinan di Banten adalah sebagai berikut:
    pertama, Pihak yang berkepentingan (pemerintah dan swasta utamanya) harus memiliki political will yang kuat. Kemiskinan adalah masalah serius. Mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan harus menjadi ”kewajiban” yang mendesak bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah dan sektor swasta. Tanpa keinginan dan tekad yang kuat, sepertinya mustahil penyakit miskin itu bisa diatasi. Program dan kebijakan yang dibuat harus mencerminkan prioritas yang tinggi untuk mengatasi kemiskinan, bukan program dan kebijakan yang setengah-setengah yang hanya memboroskan anggaran. Kebijakan, program, dan anggaran harus pro-rakyat.
    Kedua, melakukan pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam berbagai kegiatan. Terutama kegiatan ekonomi. Partisipasi masyarakat dalam menggerakan ekonomi lokal harus didorong secara sistematis dan simultan. Potensi-potensi lokal di provinsi banten harus digali dan dikembangkan. Masyarakat sekitar pun harus merasakan ”manisnya”, bukan kepahitan seperti dampak limbah, kebisingan, polusi dan hal merugikan lainnya.
    Ketiga, mendorong masyarakat untuk berwirausaha, terutama kalangan petani dan buruh tani. Mereka harus didorong dan diberikan semacam pelatihan/pendidikan untuk berwirausaha. Tidak ada negara yang berdaya, negara yang maju, tanpa wirausaha dari masyarakatnya. Wirausaha berbasis pertanian dan wirausaha berbasis ekonomi kreatif harus digalakkan demi terciptanya masyarakat yang mandiri.
    Keempat, kesinambungan program. Acapkali, program yang dibuat hanya berfungsi ”menutupi luka” dalam jangka pendek, bukan mengobati sampai tuntas. Program pemberdayaan masyarakat harus dijalankan secara kesinambungan dengan evalusi dan monitoring yang baik. Kontrol kebijakan jangan hanya melaporkan baiknya saja, akan tetapi keburukan/kekurangan dalam implementasi kebijakan yang sebetulnya lebih dominan harus menjadi bahan kajian, bahan koreksi, dan menjadi bahan referensi untuk menuju kepada kondisi yang lebih baik.
    PNPM Dorong Turunkan Kemiskinan
    “Pemerintah terus berupaya melakukan langkah dan programstrategis untuk menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran, salah satunya melalui PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan ” kata Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah usai bertemu 758 pelaku PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaandi Anyer Serang, Kamis.

    Ratu Atut Chosiyah mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam satu tahun angka kemiskinan di Provinsi Banten menurun sekitar 29.900 orang, yakni sebanyak 788.100 orang dari tahun 2009 menjadi 758,200 orang pada 2010, dari jumlah penduduk Banten saat itu sekitar 9 juta lebih.
    Pada 2011 pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan, baik program inti maupun pendukung diharapkan bisa lebih optimal, dengan melakukan evaluasi, koordinasi serta memprioritaskan berbagai persoalan di perdesaan dan perkotaan.Dengan demikian upaya pengurangan angka kemisikan dan pengangguran bisa lebih banyak dari tahun sebelumnya.
    “Di antara yang mendorong terhadap pembangunan ekonomi di perdesaan dan perkotaan tersebut melalui program simpan pinjam dari PNPM mandiri yang dikelola perempuan, juga pembangunan infrastruktur pedesaan” katanya.
    Pemerintah Provinsi Banten, kata dia, juga berupaya mengurangi pengangguran dengan menyediakan lowongan pekerjaan, di antaranya melalui “job fair” yang dilaksanakan Dinas Tenaga Kerja dan “job matching” yang diselengarakan Dinas Pendidikan Provinsi Banten.
    Berdasarkan data BPS, angka pengangguran di Banten menurun dari 2009 sebanyak 652.462 orang menjadi sebanyak 627.828 orang pada 2010, atau terjadi penurunan 24.634 orang.
    “Ini sebagai bukti bahwa selama ini pemerintah Provinsi Banten bersama seluruh masyarakat terus berupaya melakukan perubahan,” katannya.

    Dalam kesempatan tersebut, gubernur memberikan apresiasi bagi para pelaku PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan dalam bentuk uang tunai Rp1 juta per bulan. Bantuan itu diberikan selama tiga bulan, melalui forum masing-masing seperti forum Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dan Badan Kordinasi Antar Desa (BKAD).
    Total anggaran yang dialokasikan untuk uang apresiasi itu sebesar Rp1,1 miliar dari APBD 2010, yang akan diserahkan pada 758 pelaku PNPM mandiri di daerah itu.
    Ketua Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dari Kecamatan Sindangsari Kabupaten Pandeglang Supriatna mengatakan, program PNPM Mandiri Pedesaan teleh memberikan kontribusi besar bagi pembangunan fisik maupun non fisik seperti bentuk bantuan modal simpan pinjam, kondisi tersebut terutama sangat dirasakan bagi masyarakat di perdesaan.

    Sebagai contoh, kata dia, di Desa Pasir Loa Kecamatan Sindangsari Pandeglang, dengan adanya pembangunan jalan desa melalui program PNPM Mandiri Pedesaan, telah mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, yakni memudahkan akses terhadap pusat kegiatan ekonomi, kesehatan maupun pendidikan.
    Gubernur mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam satu tahun angka kemiskinan di Provinsi Banten menurun sekitar 29.900 orang, yakni sebanyak 788.100 orang dari tahun 2009 menjadi 758,200 orang pada 2010 dari jumlah penduduk Banten saat itu sekitar 9 juta lebih.
    Menurutnya, pada 2011 pelaksanaan PNPM mandiri baik program inti maupun program pendukung diharapkan bisa lebih optimal, dengan melakukan evaluasi, koordinasi serta memprioritaskan persoalan-persoalan di perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian upaya pengurangan angka kemisikan dan pengangguran bisa lebih banyak dari tahun sebelumnya.
    “Diantara yang mendorong terhadap pembangunan ekonomi di perdesaan dan perkotaan tersebut melalui program simpan pinjam dari PNPM Mandiri yang dikelola perempuan, juga pembangunan infrastruktur pedesaan” kata gubernur.
    Selain angka pengangguran, kata dia, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Provinsi Banten seperti membuka kesempatan kerja melalui “Job Fair” Dinas Tenaga Kerja dan “Job Matching” yang diselengarakan Dinas Pendidikan Provinsi Banten, juga merupakan salah satu upaya dalam mengurangi angka pengangguran di Banten.
    Menurut data BPS, kata Ibu Hj. Ratu Atut, angka pengangguran di Banten menurun dari 2009 sebanyak 652.462 orang menjadi sebanyak 627.828 orang pada 2010. Dengan demikian, dalam kurun waktu satu tahun angka pengangguran di Banten turun sebanyak 24.634 orang.”Ini sebagai bukti bahwa selama ini pemerintah Provinsi Banten bersama seluruh masyarakat terus berupaya melakukan perubahan,” katannya.
    Dalam kesempatan tersebut, gubernur memberikan atas kerja keras dan upaya para pelaku PNPM Mandiri, Gubernur Banten menyerahkan apresiasi dalam bentuk uang sebesar Rp.1 juta perbulan, selama tiga bulan untuk pelaku PNPM melalui forum masing-masing seperti forum Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dan Badan Kordinasi Antar Desa (BKAD). Anggaran yang dikeluarkan dari APBD Banten untuk pemberian apresiasi bagi 758 pelaku PNPM tersebut sekitar Rp. 1,1 miliar.

  17. kiki sugianto Desember 10, 2010 pada 4:40 am #

    nama : Kiki Sugianto
    NPM : 200902669
    Kelas : E
    Semester : V

    Selintas Memahami Konsep Kemiskinan, Pembangunan
    dan Pemberdayaan Masyarakat

    Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep Pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan. Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya. Perubahan ini telah mempengaruhi isi Laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Index Development) yang setiap tahun dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Organisasi ini menyatakan “pembangunan seharusnya dianyam oleh rakyat bukan sebaliknya menjadi penonton pembangunan dan seharusnya pula pembangunan memperkuat rakyat bukan justru membuat rakyat semakin lemah” Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan selama ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin atau jumlah orang miskin semakin banyak, gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, pun semakin diakui bahwa pemerintah ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan konyolnya pembangunan juga merusak lingkungan hidup.

    Kemiskinan
    Pemberdayaan amat dekat dengan konsep kemiskinan. Kemiskinan biasanya dikenali dari ketidak mampuan sebuah keluarga memenuhi kebutuhan dasar dan berbagai kaitan yang mencitrakan orang tersebut menjadi miskin. Beberapa konsep kemiskinan adalah (1) garis kemiskinan yang dikaitkan dengan kebutuhan konsumsi mininum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan primer—indikasinya adalah 2 per 3 pendapatan habis buat makan, (2) kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut menjadi fenomena negaranegara dunia ketiga yang ditandai oleh keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keluarga berada di atas garis kemiskinan tetapi rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan. (3) kemiskinan missal atau kantong kemiskinan adalah kemiskinan yang melanda satu negara atau wilayah dan hal ini membuatnya menjadi kompleks dalam proses mengatasinya.

    Sedangkan Chamber (1983) berpandangan kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi – berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi, barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak memperoleh pelayanan publik yang optimal. Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan access pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup. Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-hal menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses impoverisment adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi, pengangguran dan politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan kebudayaan khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan.

    Pemberdayaan
    Kata “empower” atau “berdaya” dalam kamus bahasa ditafsirkan sebagai “berkontribusi waktu, tenaga, usaha melalui kegiatankegiatan berkenaan dengan perlindungan hukum”, “memberikan seseorang atau sesuatu kekuatan atau persetujuan melakukan sesuatu”, “menyediakan seseorang dengan sumberdaya, otoritas dan peluang untuk melakukan sesuatu” atau “membuat sesuatu menjadi mungkin dan layak”. Pada kamus yang lain pengertian menjadi “memberikan seseorang rasa percaya diri atau kebanggaan diri”. Definisi pemberdayaan sendiri masih dalam perdebatan teoritik. Dalam kosa kata pembangunan, konsep pemberdayaan adalah konsep yang paling sering diplesetkan (disalah-artikan) karena menyangkut gangguan pada para pemegang kekuasaan saat ini (baik nasional maupun internasional), para pihak yang tidak berdaya
    (powerlessness) serta perubahan sosial. Saat ini ada dua pemegang kekuasaan pada sistem kehidupan kita saat ini yakni (1) kelompok yang menguasai kekayaaan alam atau
    keuangan dan (2) kelompok yang menguasai ilmu pengetahuan.

    Di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, kedua kekuasaan ini dipegang oleh segelintir orang. Pada pandangan semacam ini, pemberdayaan adalah upaya membongkar monopoli kekuasaan politik dan ekonomi yang dipegang oleh segelintir orang dan dialihkan kepada rakyat kebanyakan. Dan, mendorong pemerintahan yang lebih bertanggung jawab kepada rakyat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadi distribusi aset dan kekayaan yang lebih adil. Kelompok kedua menyatakan kapitalisme dan sosialisme telah gagal berkenaan dengan isu pengentasan kemiskinan. Para pemimpin lembaga-lembaga internasional dan pemerintahan nasional tidak memiliki jawaban bagaimana mengentaskan kemiskinan. Kelompok ini menyatakan harus ada perubahan kepemimpinan dengan memanfaatkan kepemimpinan masyarakat sipil untuk menemukan jalan ketiga (bukan kapitalisme ataupun sosialisme). Kedua kelompok pemikir di muka tetap mendudukan pemberdayaan sebagai sesuatu yang bersifat dari atas (top down). Karena mereka tetap percaya yang memiliki sumberdaya adalah mereka. Untuk itu mendudukan orang-orang baik di dalam lembaga-lembaga yang berkuasa (seperti Bank Dunia, Presiden, DPR, DPRD, Bupati) bisa mengubah keadaan. Kelompok ini sering disebut kelompok ilmuwan liberal atau progresif. Pemberdayaan dalam kacamata kelompok ini lebih cocok ditafsirkan sebagai bagaimana mengelola kekuasaan (power). Kelompok ketiga yang sering dikenal sebagai kelompok reformis. Kelompok ini percaya bahwa kekuasaan tidak pernah diberikan tapi
    harus direbut. Ini adalah pelajaran dari sejarah. Jadi, pemberdayaan adalah tindakan-tindak aktif untuk merebut kembali kekuasaan atas politik, ekonomi, sosial, budaya dan kekayaan alam. Karena itu konsep empowerment atau pemberdayaan dianggap sebuah konsep yang kontradiksi karena pemberdayaan hanya bias terjadi bila rakyat melakukan sendiri agar bebas dari penindasan (self-empowerment).

    Pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasan kemiskinan sering dikaitkan dengan beberapa hal berikut:
    􀂃 Tata relasi kekuasaan yang demokratik, transparan dan diakui publik (good governance).
    􀂃 Transformasi ekonomi menjadi komunitas yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia.
    􀂃 Promosi pengembangan komunitas melalui kekuatan sendiri dan berporos pada proses dibandingkan dengan penyelesaian suatu proyek.
    􀂃 Sebuah proses yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan dilanjutkan dengan tindakan kolektif
    􀂃 Partisipasi penuh atau sebuah proses yanng melipatkan seluruh lapisan masyarakat (tanpa terkecuali) dalam pengembangan
    agenda komunitas.

    Senarai hal-hal di muka memperkaya proses pemberdayaan menjadi suatu kebutuhan membangun kapasitas komunitas untuk mampu merespon perubahan lingkungan dengan cara mendorong perubahan internal dan eksternal yang pas dan tidak lelah melakukan pembaruan sosial (inovasi sosial). Dalam pengertian yang lebih generik, pemberdayaan komunitas berarti penguatan makna dan realitas dari prinsip-prinsip inklusivitas (seperti bagaimana melibatkan para pihak yang relevan dalam suatu proses), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap proses pengambilan keputusan). Konsep ini melampaui hiruk pikuk masalah pembangunan dan demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan partisipasi tetapi bagaimana memberikan kesempatan pada anggota komunitas (termiskin, terpinggirkan) untuk memahami realitas lingkungannya (sosial, politik, ekonomi, politik, dan kebudayaan) dan
    merefleksikan faktor-faktor yang membentuk lingkungan mereka dan menentukan langkah-langkah perubahan untuk memperbaiki situasi mereka. Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyasrakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan. Menemu kenali elemen-elemen atau kondisi yang dibutuhkan bagi pemberdayaan menjadi kebutuhan utama dalam memahami manifestasi konkrit pemberdayaan di tingkat basis masyarakat sebagai berikut :

    Elemen-elemen pemberdayaan termasuk:
    􀂃 Swadaya dan otonomi lokal dalam proses pengambilan
    keputusan masyarakat di tingkat desa, dan partisipasi demokrasi langsung dalam proses kepemerintahan representatif yang lebih luas. Ini akan memungkinkan masyarakat menggunakan kapasitasnya untuk memanfaatkan jasa informasi, berlatih memikirkan masa depan, melakukan eksperimen dan inovasi, berkolaborasi dengan orang lain, dan mengeksploitasi kondisi-kondisi serta sumberdayasumberdaya baru;
    􀂃 Penyediaan ruang bagi masyarakat untuk menegaskan
    kebudayaan serta kesejahteraan spiritualnya, dan pembelajaran sosial yang bertumpu pada pengalaman, termasuk pengungkapan dan penerapan kearifan lokal, di samping pengetahuan teoritis dan ilmiah;
    􀂃 Akses terhadap tanah dan sumberdaya lainnya, pendidikan untuk perubahan, dan fasilitas perumahan serta kesehatan;
    􀂃 Akses terhadap pengetahuan dan ketrampilan (dari dalam maupun dari luar) untuk mempertahankan kekayaan alam secara konstan dan kapasitas alam menerima buangan;;
    􀂃 Akses terhadap latihan ketrampilan, tehnik-tehnik pemecahan masalah, dan teknologi serta informasi tepat guna yang ada, sehingga pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki bias dimanfaatkan; dan
    􀂃 Partisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan oleh semua orang, terutama perempuan dan kelompok-kelompok yang pinggiran. Elemen-elemen pemberdayaan di atas merupakan apa yang dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perubahan. Pemikiran pembangunan alternatif menekankan pada transformasi politik, ekonomi, lingkungan hidup, kelembagaan sosial serta nilai-nilai komunitas melalui pemberdayaan.

    Pembangunan yang bertumpu pada komunitas hendaknya berakar pada prinsip-prinsip berikut:
    1. Kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi melalui partisipasi politik yang luas
    2. Komunitas lokal mengontrol sendiri sumberdayanya dan memiliki akses memadai pada informasi
    3. Membangun suatu sistem nilai yang konsisten sesuai dengan perikehidupan komunitas dan hubungan mereka dengan alam dan sumber dayanya.
    4. Membangun semangat gotong royong di antara anggota komunitas untuk membangun masa depan bersama.
    Pemberdayaan pada akhirnya memberikan kepada komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan kapasitas yang sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Transisi ini membutuhkan kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih tinggi, pemanfaatan pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Tekanan terbesar dalam proses pembedayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan pengetasan kemiskinan adalah pemberdayaan sosio-ekonomi, pemberdayaan politik, pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan teknologi dan pemberdayan kebudayaan atau spiritual.
    Pemberdayaan sosio-ekonomi ini akan mendorong individu dan komunitas memperoleh tanggung jawab bersama menentukan masa depannya dan menjadi manajer perubahan yang diinginkan.
    Pemberdayaan politik dan pendidikan melalui pendidikan kemandirian atau pendidikan pembebasan akan meningkatkan kapasitas komunitas bergelut dengan isu-isu demokrasi dan keadilan serta merasa memiliki kemampuan berbicara tentang apa yang dipikirkan dan pandangannya terhadap dunia serta menentukan sendiri kehidupan yang dibayangkan.
    Pemberdayaan teknologi melalui pengakuan atas pengetahuan local dan ketrampilan melalui kerjasama internasional adalah penting untuk memecahkan dilema pertumbuhan, kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan umat manusia. Hal ini akan melibatkan perkembangan dan bertukar teknologi yang akan mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, pendapatan, kesejateraann dan mengurangi dampak buruk kerusakan lingkungan hidup.
    Pemberdayaan kebudayaan dan spiritual bertujuan memahami kebudayaan dan spiritualitas sebagai basis eksistensi manusia dan sebagai landasan keberlanjutan peradaban umat manusia. Dalam perdebatan para pakar pembangunan, kebudayaan dan spiritualitas menjadi kunci dalam impelementasi pembangunan berkelanjutan. Kesimpulannya pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses dan pilihan-pilihan seperti ruang kebudayaan dan spiritual, pengakuan dan validasi pada pengetahuan lokal, pendapatan, kredit, informasi, training, dan partisipasi pada proses pengambilan keputusan.

    Penutup

    Dalam usaha mengentaskan kemiskinan di pedesaan, selama ini telah ada tiga strategi yakni (1) strategi pusat-pusat pertumbuhan yang mendorong investor membangun industri di wilayah-wilayah tertentu agar generasi pencari kerja tertarik ke pusat pertumbuhan ini, (2) strategi pemukiman kembali, dan (3) pembangunan desa terpadu. Ketiga pendekatan ini telah gagal melakukan pemberdayaan rakyat miskin dan mengentaskan kemiskinan. Karena, mereka tidak memiliki suatu proses untuk belajar dari kaum termiskin tentang kebutuhan, aspirasi dan pengetahuan mereka. Ketiga pendekatan di muka pun gagal memberikan peluang kepada kaum miskin masalah dasar mereka. Pemberdayaan bukan mengulang kesalahan 3 strategi di muka!

    Relasi antara Pemberdayaan, Kemiskinan dan Pembangunan
    Box 1. Pendidikan Kritis sebagai Alat Pemberdayaan
    Pendidikan kritis menjadi salah satu metodologi pemberdayaan yang paling populer. Karena, pendidikan kritis menggunakan metode berfikir dialektika. Proses pendidikan kritis selalu dimulai dari pengalaman nyata rakyat dalam penggorganisasian dan bekerja (praktek), kemudian dilanjutkan dengan proses menstrukturkan pengalaman mereka (teori) dan selanjutnya mendorong mereka menemukan tindakan strategis baru bertumpu pada pemahaman baru dan lebih dalam dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya (praktek). Proses ini sebuah proses satu arah yang sederhana. Pendidik atau Guru tidak memainkan peran sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan memberikan pengetahuan itu kepada para muridnya. Peran pendidik dalam sebuah proses pendidikan kritis bukan memberikan jawaban tetapi menciptakan pertanyaan-pertanyaan. Proses pendidikan kritis adalah (1) suatu proses kolektif—melibatkan komunitas pada proses saling mengajar dan belajar dari pengalaman, (2) sesuatu yang kritis dan mencerdaskan—mencari sejarah dan akar masalah, (3) bersifat sistematik—mengajak komunitas berfikir dari kongkrit ke abstrak dan selanjut mengembalikan ke bentuk kongkrit (praktek-teori-praktek), (4) bersifat partisipatoris—melibatkan semua orang dalam proses penelitian, pendidikan dan organisasi, dan (5) sesuatu kreatif – menggunakan kesenian dan kebudayaan (drama, gambar, musik, cerita, foto) sebagai alat bantu pendidikan, merangsang rakyat berimajinasi dan memanfaatkan tenaga rakyat sesungguhnya. Pendidikan kritis bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Hanya saja perlu diperhatikan konteks sejarah komunitas, sistem ekonomi politik, dan juga edeologi yang dominan di wilayah belajar tersebut.

  18. Rio Taopan Desember 10, 2010 pada 4:44 am #

    Nama : Rio Taopan
    NPM : 200902668
    Kelas : E
    Semester : V

    Peran Ganda Wanita Tani dalam Mencapai Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan

    Ringkasan
    Sektor pertanian dan lapangan kerja formal tidak banyak dapat menyerap tenaga kerja wanita, padahal 50% dari total penduduk Indonesia adalah wanita. Lebih dari 70% wanita (sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan dan 55% di antaranya hidup dari pertanian. Masuknya teknologi pertanian dan timbulnya berbagai pranata baru yang mengatur pola hubungan kerja antarpemilik lahan dan pekerja, diindikasi dapat melemahkan posisi wanita tani, padahal wanita dapat menghasilkan pendapatan untuk mengurangi keterbatasan ekonomi rumah tangga. Peningkatan produktivas lahan, usahatani, dan pendapatan rumah tangga dari usaha minapadi dan bebek cukup baik dan berpotensi mencapai ketahanan pangan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Wanita tani perlu dibina dan diberdayakan sebagai receiving system untuk mempercepat proses alih teknologi. Perlu kaji tindak dan revitalisasi mekanisme kerja penyuluhan untuk lebih melibatkan wanita tani dalam mempercepat adopsi teknologi. Diperlukan pula strategi perbaikan upah agar berimbang antarjender sebagai insentif dan keberpihakan terhadap wanita tani. Pembangunan di pedesaan telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan, terutama pada struktur ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan, khususnya petani. Paradigma modernisasi dalam pembangunan pertanian yang mengutamakan prinsip efisiensi berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi rumah tangga petani. Pembangunan pertanian di pedesaan telah menyebabkan pertumbuhan perekonomian yang pesat, meski belum sepenuhnya diimbangi oleh peningkatan struktur pendapatan rumah-tangga petani. Hal tersebut disebabkan karena laju pergeseran ekonomi sektoral relatif lebih cepat dibanding laju pergeseran tenaga kerja, dimana titik balik aktivitas ekonomi di Indonesia lebih dulu tercapai dibanding titik balik tenaga kerja (labor turning point) (Manning 2000).
    Perubahan yang terjadi terutama berkaitan erat dengan pola penguasaan dan pengusahaan lahan, pola hubungan dan struktur kesempatan kerja, yang akhirnya bermuara pada struktur pendapatan petani di pedesaan. Lahan pertanian yang terus menyempit karena tingginya kebutuhan akan lahan 1 Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan merupakan dampak dari pesatnya arus industrialisasi, kebutuhan prasarana ekonomi, dan pemukiman, sedangkan usaha pembukaan lahan pertanian baru belum sebanding dengan kebutuhan. Meski demikian, sektor pertanian dan lapangan kerja primer tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja wanita. Kondisi tersebut didasari dan diperkuat oleh anggapan bahwa kaum wanita selayaknya mengurus rumah tangga dan keluarga, sementara kaum pria diharapkan lebih banyak berperan di sektor publik. Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian mayoritas angkatan kerja di Indonesia. Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, pertumbuhan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan gizi dan ketahanan pangan rumah tangga, dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Semua ini berkaitan erat dengan peran, tugas, dan fungsi wanita di pedesaan. Berpedoman kepada pendapatan rumah tangga yang dapat dihasilkan oleh suami maupun istri (pola nafkah ganda), wanita memiliki peluang kerja yang dapat menghasilkan pendapatan bagi rumah tangganya, sebagai upaya mengurangi kemiskinan di pedesaan. Makalah ini mengemukakan berbagai pemikiran yang memungkinkan berperannya wanita tani sebagai pelaku usaha dan penghasil pendapatan dalam upaya mencapai ketahanan pangan rumah tangga menuju kesejahteraan keluarga petani di pedesaan. Pendekatan Peran dan Status Sosial Wanita Tani Peran dan kedudukan merupakan dua aspek penting dalam hubungan sosial bermasyarakat. Peran merupakan perilaku individu yang penting bagi struktur sosial, yang akhirnya akan memberikan fasilitas tertentu sesuai dengan peranan tersebut. Peran (role) merupakan aspek dinamis dari status, bilamana seseorang telah melakukan kewajiban sesuai dengan statusnya, maka ia telah berperan. Status sering diakronimkan menjadi kedudukan, yang mengindikasikan posisi seseorang secara sosial di masyarakat. Dengan kata lain, kedudukan memberikan seseorang sebuah peran sebagai pola interaksi dalam bersosialisasi (bermasyarakat).
    Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mengkaji peran dan kedudukan/status sosial wanita tani, namun pada dasarnya bermula dari penelaahan the family structure (struktur keluarga) sebagai unit terkecil dalam sistem masyarakat (society) dan kekerabatan (kinship). Levy (dalam: Sajogyo 1994) mengemukakan pentingnya memperhatikan lima substruktur berikut:
    (1) diferensiasi peranan,
    (2) alokasi ekonomi,
    (3) alokasi solidaritas,
    (4) alokasi kewibawaan/kekuasaan, dan
    (5) alokasi integrasi dan ekspresi.
    Seluruh substruktur tersebut berfungsi sebagai pendukung kelangsungan hidup sistem kekerabatan dalam rumah tangga maupun dalam bersosialisasi dan bermasyarakat. Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 Diferensiasi peranan merupakan analisis struktural, yang mengkaji status atau posisi beserta perbedaan dari masing-masing anggota rumah tangga berdasarkan jenis kelamin, umur, generasi, ekonomi, dan kekuasaan.Alokasi ekonomi merupakan pengukuran imbalan curahan tenaga kerja anggota rumah tangga yang diperlukan bagi eksistensi rumah tangga dalam memenuhi konsumsi (kebutuhan) barang dan jasa.Alokasi ekonomi berhubungan dengan alokasi solidaritas anggota rumah tangga (pria, wanita, dewasa, anak-anak) dalam berfungsi atau tidak berfungsinya peranan masing-masing terhadap perolehan pendapatan (cash atau natura) dan pengeluaran rumah tangga. Alokasi wewenang (wibawa) dan kekuasaan mencerminkan berfungsi atau tidak berfungsinya suatu rumah tangga karena peran masing-masing anggotanya. kekuasaan mencakup kemampuan seseorang (personal resource)) untuk mengambil kekuasaan dan diakui oleh pihak lain. Kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaannya akan berhubungan dengan alokasi integrasi dan ekspresi yang mencerminkan kondisi senilai (equally) atau tidak senilai (inequally) antaranggota rumah tangga. Dalam suatu masyarakat akan terjadi keseimbangan apabila peran dan kedudukan berjalan secara seimbang.
    Namun, apabila semua orang mampu berperan sesuai peranannya, maka belum tentu masyarakat memberi peluang yang seimbang pula. Bahkan seringkali ditemukan masyarakat .terpaksa..membatasi peluang-peluang tersebut, seperti halnya yang terjadi pada kaum wanita tani di pedesaan, yang semuanya berkaitan dengan kemampuan (potensi) yang melekat di diri mereka. Potensi merupakan kemampuan sebagai daya dukung yang dimiliki secara khas oleh masing-masing individu, yang membuatnya mampu berperan sesuai atau tidak sesuai dengan kedudukannya. Data kependudukan BPS (1990-2006) menunjukkan 50% dari total penduduk Indonesia adalah wanita, lebih dari 70% wanita (sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan dan 55% di antaranya hidup dari pertanian (Elizabeth 2007b). Data tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi wanita tani sebagai tenaga kerja yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya melalui pembinaan dan peningkatan efektivitasnya. Dengan demikian, diperlukan pembinaan peran wanita tani, terutama produktivitasnya, baik sebagai anggota rumah tangga maupun pengusaha mandiri, agar mampu meningkatkan pendapatan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Perbedaan status/posisi setiap anggota rumah tangga merupakan pengkajian diferensiasi peranan, berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, posisi ekonomi, generasi, atau kekuasaan. Perbedaan tersebut merupakan analisis struktural, yang sebagian besar disebabkan oleh alasan biologis dan sosial budaya di lingkungan suatu rumah tangga. Pada dasarnya wanita memiliki peranan ganda dalam rumah tangga, yang terimplikasi pada (1) peran kerja sebagai ibu rumah tangga (feminine role), yang meski tidak langsung menghasilkan pendapatan namun secara produktif bekerja mendukung kaum Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan pria (kepala keluarga) untuk mencari penghasilan (uang); dan (2) peran sebagai pencari nafkah (tambahan atau utama). Dalam mengkaji alokasi ekonomi (sumber pendapatan) dan solidaritas rumah tangga sudah seharusnya pendapatan dari pola nafkah ganda menjadi fokus pembahasan. Sumbangan wanita tani cukup besar dalam penghasilan keluarga, yang tercermin pada penghasilan yang mereka peroleh dari bekerja di lahan usahatani sendiri atau sebagai buruh tani, maupun sebagai tenaga kerja di luar sektor pertanian.
    Di samping bekerja di luar pertanian yang langsung memberi penghasilan, seperti industri rumah tangga, kerajinan, berdagang, dan buruh musiman di kota, wanita tani juga disibukkan oleh pekerjaan utama yang terpenting meski tidak memberi penghasilan langsung, yaitu mengurus rumah tangga dan sosialisasi berkeluarga. Peran wanita tani dapat didukung oleh pendekatan curahan waktu/tenaga (White 1976, dalam Sajogyo 1994) yang imbalannya akan memiliki nilai ekonomi (menghasilkan pendapatan) maupun nilai sosial (mengurus/mengatur rumah tangga dan solidaritas mencari nafkah dalam menghasilkan pendapatan rumah tangga). Dengan demikian, peran ganda wanita merupakan pekerjaan produktif karena meliputi mencari nafkah (income earning work) dan mengurus rumah tangga (domestic/household work) sebagai kepuasan dan berfungsi menjaga kelangsungan rumah tangga (Sajogyo 1994). Curahan waktu/tenaga dalam pembagian kerja suatu rumah tangga tentu berkaitan dengan distribusi dan alokasi wewenang/kekuasaan (kewibawaan), yang berujung pada pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Distribusi kekuasaan dan wewenang di antara suami-istri mungkin senilai/seimbang (equal) atau sepihak (inequal), yang bergantung kepada sumber daya pribadi ketika dibawa dalam hubungan rumah tangga. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem keluarga (family orientation), kekerabatan (kinship), dan sosial budaya masyarakat (social society culture) suatu daerah. Mengurus dan mengatur rumah tangga pada dasarnya merupakan pekerjaan yang ekonomis produktif. Hal tersebut ditemukan bilamana pelaksanaannya diserahkan/digantikan oleh orang lain yang diberi imbalan atas pekerjaannya mengurus rumah tangga (upah). Dengan demikian jelas bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan produktif, karena akan bernilai ekonomis bila ditransformasikan kepada pihak jasa tenaga kerja bayaran (paid worker). Peran Wanita Terkait Proses Alih Teknologi Pada rumah tangga petani di pedesaan, wanita tani sebagai istri berperan penting karena bertanggung jawab penuh dalam mengatur dan mengendalikan stabilitas dan kesinambungan hidup keluarga. Pengaturan pengeluaran hidup Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 rumah tangga yang menyangkut kesehatan dan gizi keluarga, pendidikan anak-anak, dan kelangsungan hidup dalam masyarakat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan home economic.
    Pada semua strata, jumlah dan curahan waktu/tenaga wanita dalam mengurus kelangsungan rumah tangga lebih tinggi dibanding pria sebagai kepala keluarga. Di sisi lain, sebagai anggota rumah tangga petani, wanita tani berperan aktif dalam membantu aktivitas usahatani dan mencari nafkah di subsektor off dan non farm. Makin luas lahan usahatani yang digarap, makin banyak tenaga wanita yang tercurah, yang mengindikasikan variasi dan ragam aktivitas dan kuantitas curahan waktu/tenaga wanita tani. Makin rendah tingkat ekonomi suatu rumah tangga petani, makin besar curahan waktu/tenaga wanita dalam menghasilkan pendapatan keluarga (Elizabeth 2007). Bila wanita tani berstatus janda atau suami bekerja di rantau, otomatis wanita tani akan berperan ganda, yaitu sebagai kepala keluarga (yang mengatur segala urusan rumah tangga) dan sebagai pengelola usahatani keluarga. Dengan demikian, peran wanita tani pada berbagai keadaan dan kedudukan, membutuhkan teknologi yang dapat mengatasi segala permasalahan dalam beraktivitas dan problema semua aspek kehidupan rumah tangga. Teknologi yang menyangkut perannya sebagai ibu rumah tangga dan teknologi usahatani (produksi dan manajemen usahatani) sangat dibutuhkan, terlebih bila wanita tani berperan sebagai pengusaha (manager/pengelola) usahataninya. Tenaga dan waktu wanita pengusaha tani lebih banyak tercurah untuk aktivitas pengelolaan usahataninya, sehingga untuk mengurus rumahtangga terkadang harus dilimpahkan kepada anggota keluarga lain dalam rumah tangga tersebut atau kepada tenaga kerja jasa (pembantu rumah tangga). Teknologi juga dibutuhkan oleh kaum wanita tani yang berkecimpung di bidang alih teknologi, yaitu sebagai anggota atau ketua kelompok tani. Wanita ketua kelompok tani berperan penting sebagai mitra kerja penyuluh dalam menyampaikan dan mengajarkan teknologi dari penyuluh kepada anggota kelompoknya dalam rangka terlaksananya proses alih teknologi. Wanita yang berperan sebagai ketua kelompok tani membutuhkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan terkait dengan peningkatkan pengelolaan usahatani, kepemimpinan, pembinaan organisasi, komunikasi, dan penyuluhan. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kaum wanita tani diperlukan pembinaan dan pemberdayaan agar mereka dapat berfungsi dan berperan dalam menyerap teknologi dan sebagai receiving system.
    Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan Peran dan Produktivitas Tenaga Kerja Wanita Tani di Lahan Sawah Irigasi Berbagai penelitian menunjukkan besarnya kontribusi kaum wanita di bidang pertanian di pedesaan (Sajogyo 1984, Bachrein 2000, Elizabeth 2007a). Kontribusi nyata tersebut merupakan peran penting tenaga kerja wanita menyangkut kegiatan menanam, menyiang/memelihara, memanen, merontok, membersihkan (menampi), pascapanen, pemasaran hasil, dan sebagainya. Selain memikul tugas penting dalam mengurus rumah tangga, wanita tani juga berperan aktif dalam proses produksi sehingga patut diberi teknologi tepat guna untuk mengurangi beban kerjanya, agar perannya sebagai ibu rumah tangga tidak terbengkalai. Di beberapa desa di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, kaum wanita tani umumnya berperan aktif dalam setiap kegiatan usahatani dan mencari nafkah rumah tangga di subsektor pertanian (misalnya sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga). Pada usahatani, kegiatan yang umum dilakukan kaum wanita tani adalah menanam, menyiang/memelihara, mengendalikan gulma, memanen, merontok, membersihkan (menampi), pascapanen, pemasaran hasil. Persiapan dan pengolahan lahan (membuat galengan/ pematang), pesemaian, pemupukan, dan penyemprotan umumnya dilakukan oleh kaum pria, dimana kegiatan panen dan pascapanen seimbang antara pria dan wanita (Elizabeth 2007b). Distribusi dan alokasi tenaga kerja pria (traktor dikonversi menjadi tenaga kerja pria) dan wanita (dalam dan luar keluarga) dalam sistem usahatani minapadi-bebek dikemukakan pada Tabel 1. Peran dan produktivitas tenaga kerja wanita meningkat pada usaha ikan dan bebek, terutama dalam pemberian pakan, panen, pengumpulan telur (bebek), penjualan ikan dan telur (pemasaran). Pria lebih berperan dalam pengambilan keputusan untuk pengeluaran usahatani (pupuk, obat-obatan), pengelolaan sumber daya lahan, alat pengolahan tanah (traktor, kerbau), dan pascapanen (tresher). Wanita berperan atas penyimpanan benih padi dan pengeluaran rumah tangga. Untuk menentukan varietas padi, mencari tenaga luar keluarga, memasarkan hasil, dan keperluan tertentu (membeli sepeda motor, televisi, dan lain-lain) dilakukan bersama-sama. Data pada Tabel 1 menunjukkan usahatani minapadi dan ternak unggas (bebek) atau yang disebut parlabek (minapadi-bebek) umum dilakukan oleh petaninya.
    Dari hasil analisis jender secara kualitatif dan empiris, dapat dikemukakan bahwa peran wanita meningkat dalam pemeliharaan ikan dan bebek. Pengendalian gulma hampir tidak ada, sehingga waktu kerja wanita dapat dialihkan untuk memelihara ikan, bebek, dan aktivitas rumah tangga. Pengalihan waktu kerja tersebut dimungkinkan karena gulma sudah dimakan Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 Tabel 1. Distribusi tenaga kerja pria dan wanita pada usahatani minapadi bebek, di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. MK dan MH 2006-2007. MH 2006 (HOK) MK 2006 (HOK) Aktivitas TKP TKW TKP TKW Padi Pengolahan tanah 27 -27 -Persemaian 5 -8 -Cabut bibit -3 -3 Angkut bibit 2 -18 -Membuat garis 3 –3 Tanam pindah -20 -14 Penyiangan 3 17 3 14 Pemupukan 6 -6 – Penyemprotan 3 -6 – Pengairan 4 -4 -Babat galengan 6 -6 -Panen 22 25 22 25 Menampi -3 -3 Pengeringan 2 2 2 2 Mengangkut padi 1 -1 -Menggiling padi 1 1 1 1 Pemasaran 1 1 1 1 Ikan Pembuatan caren 5 -5 -Angkut dan tanam benih -1 1 -Memberi pakan 8 6 8 6 Panen 5 2 5 2 Menjual ikan 0,75 0,75 0,75 0,75 Bebek Membuat pagar 3 —Membuat kandang 3 —Memberi pakan 21 20 21 20 Mengumpulkan telur -15 -15 Menjual telur -2 -2 TKP = Tenaga Kerja Pria; TKW = Tenaga Kerja Wanita Sumber: Elizabeth 2007b. ikan dan bebek sebelum sempat berkembang, sehingga dapat mengurangi biaya penyiangan sebesar 40-75%. Beberapa hal mendasar yang perlu mendapat perhatian adalah cukup mencoloknya perbedaan tingkat upah yang diterima kaum wanita tani dibanding kaum pria, terutama untuk kegiatan tanam dan penyiangan. Kedua kegiatan Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan ini cukup berat karena dilakukan dengan tangan sambil membungkuk selama setengah hari dengan upah Rp 15.000-20.000 per hari, separuh dari upah yang diterima pria dengan jenis kegiatan dan jam kerja yang sama. Kegiatan menyiang tanaman padi sawah umumnya membutuhkan lebih dari 40 HOK per hektar. Kenyataan tersebut kurang adil dan perlu dicarikan solusinya. Selain dapat mengurangi biaya penyiangan karena populasi gulma berkurang, bebek dan ikan juga merupakan predator bagi serangga atau hama padi, sehingga dapat mengurangi biaya penyemprotan. Di samping itu, pengalihan tenaga kerja wanita dari kegiatan penyiangan dapat dialokasikan (terkait upaya pemberdayaan) ke jenis kegiatan lainnya (misalnya memelihara/memberi pakan ternak).
    Dengan populasi ikan 3000-5000 ekor/ha dan itik 20-30 ekor/ha dapat meningkatkan produktivas lahan. Peningkatan pendapatan rumah tangga dari minapadi dan bebek juga cukup baik. Telur bebek dapat dikumpulkan dan dijual setiap 5-10 hari dengan harga Rp 700-900 per butir dan harga bebek Rp 20.000-30.000 per ekor, di samping menjual anak bebek sebagai bibit. Ikan dapat dipanen pada umur 45-60 hari dengan harga Rp 8.000-12.000 per kg, dan tambahan pendapatan dari menjual induk ikan atau anak ikan sebagai bibit. Dalam hal pengambilan keputusan, pria dan wanita sebetulnya berperan seimbang, meski sekilas terlihat adanya pembagian. Suami dan isteri bersama-sama memutuskan biaya produksi, penyiangan, dan panen. Pria lebih mendominasi dalam persiapan tanam, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan budi daya ternak. Wanita lebih mendominasi pengelolaan hasil, penyimpanan, pemasaran, dan pendistribusian (pemakaian) pendapatan yang diperoleh, terutama untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan pengeluaran rutinitas rumah tangga. Ketahanan Pangan Meski posisi wanita demikian penting, namun berbagai pemasalahan dan kendala masih menaungi wanita tani. Secara internal terdapat berbagai kendala untuk memajukan peran wanita, karena masih relatif rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, motivasi, dan rasa percaya diri. Secara eksternal, berbagai dukungan sosial masyarakat, nilai budaya, teknologi tepat guna, dan kebijakan masih kurang berpihak kepada wanita. Kaum wanita lebih peka dan tanggap terhadap berbagai kesempatan (peluang), dan sebagai pelaku usaha dalam menambah (bahkan mencari) pendapatan (melalui adopsi teknologi baru) demi mencapai kesejahteraan rumah tangga. Dengan meningkatnya pendapatan yang diperoleh melalui pola nafkah ganda sebagai konsekuensi peran ganda wanita tani, maka kebutuhan pangan rumah tangga sehari-hari diharapkan dapat terpenuhi. Terkait kondisi tersebut, Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 strategi ketahanan pangan akan lebih tepat, paling tidak pada tingkat rumah tangga. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup dan beraktivitas. Memperoleh pangan yang baik dan cukup adalah bagian dari hak azasi manusia (Universal of Human Right).

    Ketahanan pangan merupakan kondisi pemenuhan pangan bagi suatu rumah tangga, yang mengindikasikan kecukupan akan pangan yang baik, aman, merata dalam kuantitas dan kualitas, serta terjangkau oleh masyarakat luas (BBKP 2003). Peningkatan produktivitas tenaga kerja wanita tani memiliki peran dan potensi yang strategis dalam mendukung peningkatan maupun perolehan pendapatan rumah tangga pertanian di pedesaan. Berbagai masalah dan kendala, baik secara internal maupun eksternal, merupakan tantangan yang perlu diatasi melalui berbagai cara, seperti: perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, peningkatan efektivitas penyuluhan dan pelatihan, perbaikan regulasi pengupahan, fasilitas, dan kesempatan kerja. Peluang-peluang tersebut dapat merupakan insentif dan keberpihakan kepada wanita tani. Informasi ini juga sebagai umpan balik (masukan) bagi perencana, penyusun, dan pengambil kebijakan. Kesimpulan dan Saran Peran ganda wanita tani sangat strategis dalam peningkatan produktivitas usahatani dan berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Wanita tani berpeluang dan mampu berperan sebagai mitra kerja penyuluh dalam proses alih teknologi pertanian di pedesaan Meningkatnya peran dan produktivas wanita tani sebagai pengurus rumah tangga dan tenaga kerja pencari nafkah (tambahan maupun utama), juga berhubungan erat dengan perannya sebagai pelaku usaha dalam upaya peningkatan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, menuju pencapaian ketahanan pangan dan kesejahteraan rumah tangga. Pembinaan wanita tani perlu ditingkatkan dan diberdayakan sebagai receiving system untuk mempercepat proses penyerapan teknologi oleh wanita tani. Perlu strategi perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, meningkatkan efektivitas penyuluhan dan pelatihan, perbaikan regulasi, fasilitas, upah, dan kesempatan kerja agar berimbang antarjender, sebagai insentif dan keberpihakan terhadap wanita tani di pedesaan. Perlu kaji tindak dan revitalisasi mekanisme kerja penyuluhan untuk lebih melibatkan wanita tani dalam mempercepat adopsi teknologi.

    Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan
    Daftar Pustaka
    BBKP. 2003. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Bachrein, S., I. Ishaq, dan V.W. Rufaidah. 2000. Peranan wanita dalam pengembangan usahatani di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Cikelet, Garut). Jurnal JP2TP 3(1).
    BPS (1990-2006). Data kependudukan. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
    Elizabeth, R. 2007a. Remitansi bekerja dari luar negeri dan diversifikasi usaha rumah tangga di pedesaan. Tesis IPB, Bogor.
    Elizabeth, R. 2007b. Pengarusutamaan gender melalui managemen sumberdaya keluarga dan diversifikasi pendapatan rumah tangga petani di pedesaan: antara harapan dan kenyataan. Makalah Lokakarya Pengarusutamaan Gender. FEMA IPB Bogor bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI.
    International Rice Research Institute. 1987. Woman in rice farming systems: an operational research and training program.
    Training and Workshop Gender Analysis. November 1994. IRRI. Manila. Philippines.
    Manning, C. 2000. Labour market adjustment to indonesia s economic crisis: context, trend, and implications.
    Bulletin of Indonesian Economic
    Studies (BIES) 36(1)105-136.
    Paris, T.R. 1987. Women in rice farming system: a preliminary report of an action research program in Sta. Barbara. Pangasinan. IRRI. Los Banos. Phillipines.
    Sadra, D.K., R. Elizabeth, H. Supriadi, K.S. Indraningsih, dan J.H. Sinaga. 2006. Analisis pola pengembangan multi usaha rumah tangga. PSEKP. Bogor.

    Sajogyo, P. 1994. Peranan wanita dalam perkembangan ekonomi. Obor.
    Jakarta.
    Sumaryanto, Roosganda, S. Pasaribu, A. Tarnyoto, dan B. Sayaka. 1994. Studi dinamika penguasaan lahan dan kesempatan kerja. Patanas.
    PSE, Bogor.
    Syamsiah, I., I. P. Wardana, dan S. Suriapermana. 1992. Partisipasi wanita dalam sistem usahatani di lahan sawah irigasi. Puslitbangtan. Bogor.
    Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008

  19. Rio Taopan Desember 10, 2010 pada 4:48 am #

    Nama : Rio Taopan
    NPM : 200902668
    Kelas : E
    Smester :V

    Peran Ganda Wanita Tani dalam Mencapai Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan

    Ringkasan
    Sektor pertanian dan lapangan kerja formal tidak banyak dapat menyerap tenaga kerja wanita, padahal 50% dari total penduduk Indonesia adalah wanita. Lebih dari 70% wanita (sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan dan 55% di antaranya hidup dari pertanian. Masuknya teknologi pertanian dan timbulnya berbagai pranata baru yang mengatur pola hubungan kerja antarpemilik lahan dan pekerja, diindikasi dapat melemahkan posisi wanita tani, padahal wanita dapat menghasilkan pendapatan untuk mengurangi keterbatasan ekonomi rumah tangga. Peningkatan produktivas lahan, usahatani, dan pendapatan rumah tangga dari usaha minapadi dan bebek cukup baik dan berpotensi mencapai ketahanan pangan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Wanita tani perlu dibina dan diberdayakan sebagai receiving system untuk mempercepat proses alih teknologi. Perlu kaji tindak dan revitalisasi mekanisme kerja penyuluhan untuk lebih melibatkan wanita tani dalam mempercepat adopsi teknologi. Diperlukan pula strategi perbaikan upah agar berimbang antarjender sebagai insentif dan keberpihakan terhadap wanita tani. Pembangunan di pedesaan telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan, terutama pada struktur ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan, khususnya petani. Paradigma modernisasi dalam pembangunan pertanian yang mengutamakan prinsip efisiensi berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi rumah tangga petani. Pembangunan pertanian di pedesaan telah menyebabkan pertumbuhan perekonomian yang pesat, meski belum sepenuhnya diimbangi oleh peningkatan struktur pendapatan rumah-tangga petani. Hal tersebut disebabkan karena laju pergeseran ekonomi sektoral relatif lebih cepat dibanding laju pergeseran tenaga kerja, dimana titik balik aktivitas ekonomi di Indonesia lebih dulu tercapai dibanding titik balik tenaga kerja (labor turning point) (Manning 2000).
    Perubahan yang terjadi terutama berkaitan erat dengan pola penguasaan dan pengusahaan lahan, pola hubungan dan struktur kesempatan kerja, yang akhirnya bermuara pada struktur pendapatan petani di pedesaan. Lahan pertanian yang terus menyempit karena tingginya kebutuhan akan lahan 1 Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan merupakan dampak dari pesatnya arus industrialisasi, kebutuhan prasarana ekonomi, dan pemukiman, sedangkan usaha pembukaan lahan pertanian baru belum sebanding dengan kebutuhan. Meski demikian, sektor pertanian dan lapangan kerja primer tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja wanita. Kondisi tersebut didasari dan diperkuat oleh anggapan bahwa kaum wanita selayaknya mengurus rumah tangga dan keluarga, sementara kaum pria diharapkan lebih banyak berperan di sektor publik. Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian mayoritas angkatan kerja di Indonesia. Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, pertumbuhan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan gizi dan ketahanan pangan rumah tangga, dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Semua ini berkaitan erat dengan peran, tugas, dan fungsi wanita di pedesaan. Berpedoman kepada pendapatan rumah tangga yang dapat dihasilkan oleh suami maupun istri (pola nafkah ganda), wanita memiliki peluang kerja yang dapat menghasilkan pendapatan bagi rumah tangganya, sebagai upaya mengurangi kemiskinan di pedesaan. Makalah ini mengemukakan berbagai pemikiran yang memungkinkan berperannya wanita tani sebagai pelaku usaha dan penghasil pendapatan dalam upaya mencapai ketahanan pangan rumah tangga menuju kesejahteraan keluarga petani di pedesaan. Pendekatan Peran dan Status Sosial Wanita Tani Peran dan kedudukan merupakan dua aspek penting dalam hubungan sosial bermasyarakat. Peran merupakan perilaku individu yang penting bagi struktur sosial, yang akhirnya akan memberikan fasilitas tertentu sesuai dengan peranan tersebut. Peran (role) merupakan aspek dinamis dari status, bilamana seseorang telah melakukan kewajiban sesuai dengan statusnya, maka ia telah berperan. Status sering diakronimkan menjadi kedudukan, yang mengindikasikan posisi seseorang secara sosial di masyarakat. Dengan kata lain, kedudukan memberikan seseorang sebuah peran sebagai pola interaksi dalam bersosialisasi (bermasyarakat).
    Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mengkaji peran dan kedudukan/status sosial wanita tani, namun pada dasarnya bermula dari penelaahan the family structure (struktur keluarga) sebagai unit terkecil dalam sistem masyarakat (society) dan kekerabatan (kinship). Levy (dalam: Sajogyo 1994) mengemukakan pentingnya memperhatikan lima substruktur berikut:
    (1) diferensiasi peranan,
    (2) alokasi ekonomi,
    (3) alokasi solidaritas,
    (4) alokasi kewibawaan/kekuasaan, dan
    (5) alokasi integrasi dan ekspresi.
    Seluruh substruktur tersebut berfungsi sebagai pendukung kelangsungan hidup sistem kekerabatan dalam rumah tangga maupun dalam bersosialisasi dan bermasyarakat. Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 Diferensiasi peranan merupakan analisis struktural, yang mengkaji status atau posisi beserta perbedaan dari masing-masing anggota rumah tangga berdasarkan jenis kelamin, umur, generasi, ekonomi, dan kekuasaan.Alokasi ekonomi merupakan pengukuran imbalan curahan tenaga kerja anggota rumah tangga yang diperlukan bagi eksistensi rumah tangga dalam memenuhi konsumsi (kebutuhan) barang dan jasa.Alokasi ekonomi berhubungan dengan alokasi solidaritas anggota rumah tangga (pria, wanita, dewasa, anak-anak) dalam berfungsi atau tidak berfungsinya peranan masing-masing terhadap perolehan pendapatan (cash atau natura) dan pengeluaran rumah tangga. Alokasi wewenang (wibawa) dan kekuasaan mencerminkan berfungsi atau tidak berfungsinya suatu rumah tangga karena peran masing-masing anggotanya. kekuasaan mencakup kemampuan seseorang (personal resource)) untuk mengambil kekuasaan dan diakui oleh pihak lain. Kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaannya akan berhubungan dengan alokasi integrasi dan ekspresi yang mencerminkan kondisi senilai (equally) atau tidak senilai (inequally) antaranggota rumah tangga. Dalam suatu masyarakat akan terjadi keseimbangan apabila peran dan kedudukan berjalan secara seimbang.
    Namun, apabila semua orang mampu berperan sesuai peranannya, maka belum tentu masyarakat memberi peluang yang seimbang pula. Bahkan seringkali ditemukan masyarakat .terpaksa..membatasi peluang-peluang tersebut, seperti halnya yang terjadi pada kaum wanita tani di pedesaan, yang semuanya berkaitan dengan kemampuan (potensi) yang melekat di diri mereka. Potensi merupakan kemampuan sebagai daya dukung yang dimiliki secara khas oleh masing-masing individu, yang membuatnya mampu berperan sesuai atau tidak sesuai dengan kedudukannya. Data kependudukan BPS (1990-2006) menunjukkan 50% dari total penduduk Indonesia adalah wanita, lebih dari 70% wanita (sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan dan 55% di antaranya hidup dari pertanian (Elizabeth 2007b). Data tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi wanita tani sebagai tenaga kerja yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya melalui pembinaan dan peningkatan efektivitasnya. Dengan demikian, diperlukan pembinaan peran wanita tani, terutama produktivitasnya, baik sebagai anggota rumah tangga maupun pengusaha mandiri, agar mampu meningkatkan pendapatan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Perbedaan status/posisi setiap anggota rumah tangga merupakan pengkajian diferensiasi peranan, berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, posisi ekonomi, generasi, atau kekuasaan. Perbedaan tersebut merupakan analisis struktural, yang sebagian besar disebabkan oleh alasan biologis dan sosial budaya di lingkungan suatu rumah tangga. Pada dasarnya wanita memiliki peranan ganda dalam rumah tangga, yang terimplikasi pada (1) peran kerja sebagai ibu rumah tangga (feminine role), yang meski tidak langsung menghasilkan pendapatan namun secara produktif bekerja mendukung kaum Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan pria (kepala keluarga) untuk mencari penghasilan (uang); dan (2) peran sebagai pencari nafkah (tambahan atau utama). Dalam mengkaji alokasi ekonomi (sumber pendapatan) dan solidaritas rumah tangga sudah seharusnya pendapatan dari pola nafkah ganda menjadi fokus pembahasan. Sumbangan wanita tani cukup besar dalam penghasilan keluarga, yang tercermin pada penghasilan yang mereka peroleh dari bekerja di lahan usahatani sendiri atau sebagai buruh tani, maupun sebagai tenaga kerja di luar sektor pertanian.
    Di samping bekerja di luar pertanian yang langsung memberi penghasilan, seperti industri rumah tangga, kerajinan, berdagang, dan buruh musiman di kota, wanita tani juga disibukkan oleh pekerjaan utama yang terpenting meski tidak memberi penghasilan langsung, yaitu mengurus rumah tangga dan sosialisasi berkeluarga. Peran wanita tani dapat didukung oleh pendekatan curahan waktu/tenaga (White 1976, dalam Sajogyo 1994) yang imbalannya akan memiliki nilai ekonomi (menghasilkan pendapatan) maupun nilai sosial (mengurus/mengatur rumah tangga dan solidaritas mencari nafkah dalam menghasilkan pendapatan rumah tangga). Dengan demikian, peran ganda wanita merupakan pekerjaan produktif karena meliputi mencari nafkah (income earning work) dan mengurus rumah tangga (domestic/household work) sebagai kepuasan dan berfungsi menjaga kelangsungan rumah tangga (Sajogyo 1994). Curahan waktu/tenaga dalam pembagian kerja suatu rumah tangga tentu berkaitan dengan distribusi dan alokasi wewenang/kekuasaan (kewibawaan), yang berujung pada pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Distribusi kekuasaan dan wewenang di antara suami-istri mungkin senilai/seimbang (equal) atau sepihak (inequal), yang bergantung kepada sumber daya pribadi ketika dibawa dalam hubungan rumah tangga. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem keluarga (family orientation), kekerabatan (kinship), dan sosial budaya masyarakat (social society culture) suatu daerah. Mengurus dan mengatur rumah tangga pada dasarnya merupakan pekerjaan yang ekonomis produktif. Hal tersebut ditemukan bilamana pelaksanaannya diserahkan/digantikan oleh orang lain yang diberi imbalan atas pekerjaannya mengurus rumah tangga (upah). Dengan demikian jelas bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan produktif, karena akan bernilai ekonomis bila ditransformasikan kepada pihak jasa tenaga kerja bayaran (paid worker). Peran Wanita Terkait Proses Alih Teknologi Pada rumah tangga petani di pedesaan, wanita tani sebagai istri berperan penting karena bertanggung jawab penuh dalam mengatur dan mengendalikan stabilitas dan kesinambungan hidup keluarga. Pengaturan pengeluaran hidup Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 rumah tangga yang menyangkut kesehatan dan gizi keluarga, pendidikan anak-anak, dan kelangsungan hidup dalam masyarakat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan home economic.
    Pada semua strata, jumlah dan curahan waktu/tenaga wanita dalam mengurus kelangsungan rumah tangga lebih tinggi dibanding pria sebagai kepala keluarga. Di sisi lain, sebagai anggota rumah tangga petani, wanita tani berperan aktif dalam membantu aktivitas usahatani dan mencari nafkah di subsektor off dan non farm. Makin luas lahan usahatani yang digarap, makin banyak tenaga wanita yang tercurah, yang mengindikasikan variasi dan ragam aktivitas dan kuantitas curahan waktu/tenaga wanita tani. Makin rendah tingkat ekonomi suatu rumah tangga petani, makin besar curahan waktu/tenaga wanita dalam menghasilkan pendapatan keluarga (Elizabeth 2007). Bila wanita tani berstatus janda atau suami bekerja di rantau, otomatis wanita tani akan berperan ganda, yaitu sebagai kepala keluarga (yang mengatur segala urusan rumah tangga) dan sebagai pengelola usahatani keluarga. Dengan demikian, peran wanita tani pada berbagai keadaan dan kedudukan, membutuhkan teknologi yang dapat mengatasi segala permasalahan dalam beraktivitas dan problema semua aspek kehidupan rumah tangga. Teknologi yang menyangkut perannya sebagai ibu rumah tangga dan teknologi usahatani (produksi dan manajemen usahatani) sangat dibutuhkan, terlebih bila wanita tani berperan sebagai pengusaha (manager/pengelola) usahataninya. Tenaga dan waktu wanita pengusaha tani lebih banyak tercurah untuk aktivitas pengelolaan usahataninya, sehingga untuk mengurus rumahtangga terkadang harus dilimpahkan kepada anggota keluarga lain dalam rumah tangga tersebut atau kepada tenaga kerja jasa (pembantu rumah tangga). Teknologi juga dibutuhkan oleh kaum wanita tani yang berkecimpung di bidang alih teknologi, yaitu sebagai anggota atau ketua kelompok tani. Wanita ketua kelompok tani berperan penting sebagai mitra kerja penyuluh dalam menyampaikan dan mengajarkan teknologi dari penyuluh kepada anggota kelompoknya dalam rangka terlaksananya proses alih teknologi. Wanita yang berperan sebagai ketua kelompok tani membutuhkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan terkait dengan peningkatkan pengelolaan usahatani, kepemimpinan, pembinaan organisasi, komunikasi, dan penyuluhan. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kaum wanita tani diperlukan pembinaan dan pemberdayaan agar mereka dapat berfungsi dan berperan dalam menyerap teknologi dan sebagai receiving system.
    Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan Peran dan Produktivitas Tenaga Kerja Wanita Tani di Lahan Sawah Irigasi Berbagai penelitian menunjukkan besarnya kontribusi kaum wanita di bidang pertanian di pedesaan (Sajogyo 1984, Bachrein 2000, Elizabeth 2007a). Kontribusi nyata tersebut merupakan peran penting tenaga kerja wanita menyangkut kegiatan menanam, menyiang/memelihara, memanen, merontok, membersihkan (menampi), pascapanen, pemasaran hasil, dan sebagainya. Selain memikul tugas penting dalam mengurus rumah tangga, wanita tani juga berperan aktif dalam proses produksi sehingga patut diberi teknologi tepat guna untuk mengurangi beban kerjanya, agar perannya sebagai ibu rumah tangga tidak terbengkalai. Di beberapa desa di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, kaum wanita tani umumnya berperan aktif dalam setiap kegiatan usahatani dan mencari nafkah rumah tangga di subsektor pertanian (misalnya sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga). Pada usahatani, kegiatan yang umum dilakukan kaum wanita tani adalah menanam, menyiang/memelihara, mengendalikan gulma, memanen, merontok, membersihkan (menampi), pascapanen, pemasaran hasil. Persiapan dan pengolahan lahan (membuat galengan/ pematang), pesemaian, pemupukan, dan penyemprotan umumnya dilakukan oleh kaum pria, dimana kegiatan panen dan pascapanen seimbang antara pria dan wanita (Elizabeth 2007b). Distribusi dan alokasi tenaga kerja pria (traktor dikonversi menjadi tenaga kerja pria) dan wanita (dalam dan luar keluarga) dalam sistem usahatani minapadi-bebek dikemukakan pada Tabel 1. Peran dan produktivitas tenaga kerja wanita meningkat pada usaha ikan dan bebek, terutama dalam pemberian pakan, panen, pengumpulan telur (bebek), penjualan ikan dan telur (pemasaran). Pria lebih berperan dalam pengambilan keputusan untuk pengeluaran usahatani (pupuk, obat-obatan), pengelolaan sumber daya lahan, alat pengolahan tanah (traktor, kerbau), dan pascapanen (tresher). Wanita berperan atas penyimpanan benih padi dan pengeluaran rumah tangga. Untuk menentukan varietas padi, mencari tenaga luar keluarga, memasarkan hasil, dan keperluan tertentu (membeli sepeda motor, televisi, dan lain-lain) dilakukan bersama-sama. Data pada Tabel 1 menunjukkan usahatani minapadi dan ternak unggas (bebek) atau yang disebut parlabek (minapadi-bebek) umum dilakukan oleh petaninya.
    Dari hasil analisis jender secara kualitatif dan empiris, dapat dikemukakan bahwa peran wanita meningkat dalam pemeliharaan ikan dan bebek. Pengendalian gulma hampir tidak ada, sehingga waktu kerja wanita dapat dialihkan untuk memelihara ikan, bebek, dan aktivitas rumah tangga. Pengalihan waktu kerja tersebut dimungkinkan karena gulma sudah dimakan Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 Tabel 1. Distribusi tenaga kerja pria dan wanita pada usahatani minapadi bebek, di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. MK dan MH 2006-2007. MH 2006 (HOK) MK 2006 (HOK) Aktivitas TKP TKW TKP TKW Padi Pengolahan tanah 27 -27 -Persemaian 5 -8 -Cabut bibit -3 -3 Angkut bibit 2 -18 -Membuat garis 3 –3 Tanam pindah -20 -14 Penyiangan 3 17 3 14 Pemupukan 6 -6 – Penyemprotan 3 -6 – Pengairan 4 -4 -Babat galengan 6 -6 -Panen 22 25 22 25 Menampi -3 -3 Pengeringan 2 2 2 2 Mengangkut padi 1 -1 -Menggiling padi 1 1 1 1 Pemasaran 1 1 1 1 Ikan Pembuatan caren 5 -5 -Angkut dan tanam benih -1 1 -Memberi pakan 8 6 8 6 Panen 5 2 5 2 Menjual ikan 0,75 0,75 0,75 0,75 Bebek Membuat pagar 3 —Membuat kandang 3 —Memberi pakan 21 20 21 20 Mengumpulkan telur -15 -15 Menjual telur -2 -2 TKP = Tenaga Kerja Pria; TKW = Tenaga Kerja Wanita Sumber: Elizabeth 2007b. ikan dan bebek sebelum sempat berkembang, sehingga dapat mengurangi biaya penyiangan sebesar 40-75%. Beberapa hal mendasar yang perlu mendapat perhatian adalah cukup mencoloknya perbedaan tingkat upah yang diterima kaum wanita tani dibanding kaum pria, terutama untuk kegiatan tanam dan penyiangan. Kedua kegiatan Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan ini cukup berat karena dilakukan dengan tangan sambil membungkuk selama setengah hari dengan upah Rp 15.000-20.000 per hari, separuh dari upah yang diterima pria dengan jenis kegiatan dan jam kerja yang sama. Kegiatan menyiang tanaman padi sawah umumnya membutuhkan lebih dari 40 HOK per hektar. Kenyataan tersebut kurang adil dan perlu dicarikan solusinya. Selain dapat mengurangi biaya penyiangan karena populasi gulma berkurang, bebek dan ikan juga merupakan predator bagi serangga atau hama padi, sehingga dapat mengurangi biaya penyemprotan. Di samping itu, pengalihan tenaga kerja wanita dari kegiatan penyiangan dapat dialokasikan (terkait upaya pemberdayaan) ke jenis kegiatan lainnya (misalnya memelihara/memberi pakan ternak).
    Dengan populasi ikan 3000-5000 ekor/ha dan itik 20-30 ekor/ha dapat meningkatkan produktivas lahan. Peningkatan pendapatan rumah tangga dari minapadi dan bebek juga cukup baik. Telur bebek dapat dikumpulkan dan dijual setiap 5-10 hari dengan harga Rp 700-900 per butir dan harga bebek Rp 20.000-30.000 per ekor, di samping menjual anak bebek sebagai bibit. Ikan dapat dipanen pada umur 45-60 hari dengan harga Rp 8.000-12.000 per kg, dan tambahan pendapatan dari menjual induk ikan atau anak ikan sebagai bibit. Dalam hal pengambilan keputusan, pria dan wanita sebetulnya berperan seimbang, meski sekilas terlihat adanya pembagian. Suami dan isteri bersama-sama memutuskan biaya produksi, penyiangan, dan panen. Pria lebih mendominasi dalam persiapan tanam, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan budi daya ternak. Wanita lebih mendominasi pengelolaan hasil, penyimpanan, pemasaran, dan pendistribusian (pemakaian) pendapatan yang diperoleh, terutama untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan pengeluaran rutinitas rumah tangga. Ketahanan Pangan Meski posisi wanita demikian penting, namun berbagai pemasalahan dan kendala masih menaungi wanita tani. Secara internal terdapat berbagai kendala untuk memajukan peran wanita, karena masih relatif rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, motivasi, dan rasa percaya diri. Secara eksternal, berbagai dukungan sosial masyarakat, nilai budaya, teknologi tepat guna, dan kebijakan masih kurang berpihak kepada wanita. Kaum wanita lebih peka dan tanggap terhadap berbagai kesempatan (peluang), dan sebagai pelaku usaha dalam menambah (bahkan mencari) pendapatan (melalui adopsi teknologi baru) demi mencapai kesejahteraan rumah tangga. Dengan meningkatnya pendapatan yang diperoleh melalui pola nafkah ganda sebagai konsekuensi peran ganda wanita tani, maka kebutuhan pangan rumah tangga sehari-hari diharapkan dapat terpenuhi. Terkait kondisi tersebut, Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 strategi ketahanan pangan akan lebih tepat, paling tidak pada tingkat rumah tangga. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup dan beraktivitas. Memperoleh pangan yang baik dan cukup adalah bagian dari hak azasi manusia (Universal of Human Right).

    Ketahanan pangan merupakan kondisi pemenuhan pangan bagi suatu rumah tangga, yang mengindikasikan kecukupan akan pangan yang baik, aman, merata dalam kuantitas dan kualitas, serta terjangkau oleh masyarakat luas (BBKP 2003). Peningkatan produktivitas tenaga kerja wanita tani memiliki peran dan potensi yang strategis dalam mendukung peningkatan maupun perolehan pendapatan rumah tangga pertanian di pedesaan. Berbagai masalah dan kendala, baik secara internal maupun eksternal, merupakan tantangan yang perlu diatasi melalui berbagai cara, seperti: perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, peningkatan efektivitas penyuluhan dan pelatihan, perbaikan regulasi pengupahan, fasilitas, dan kesempatan kerja. Peluang-peluang tersebut dapat merupakan insentif dan keberpihakan kepada wanita tani. Informasi ini juga sebagai umpan balik (masukan) bagi perencana, penyusun, dan pengambil kebijakan. Kesimpulan dan Saran Peran ganda wanita tani sangat strategis dalam peningkatan produktivitas usahatani dan berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Wanita tani berpeluang dan mampu berperan sebagai mitra kerja penyuluh dalam proses alih teknologi pertanian di pedesaan Meningkatnya peran dan produktivas wanita tani sebagai pengurus rumah tangga dan tenaga kerja pencari nafkah (tambahan maupun utama), juga berhubungan erat dengan perannya sebagai pelaku usaha dalam upaya peningkatan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, menuju pencapaian ketahanan pangan dan kesejahteraan rumah tangga. Pembinaan wanita tani perlu ditingkatkan dan diberdayakan sebagai receiving system untuk mempercepat proses penyerapan teknologi oleh wanita tani. Perlu strategi perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, meningkatkan efektivitas penyuluhan dan pelatihan, perbaikan regulasi, fasilitas, upah, dan kesempatan kerja agar berimbang antarjender, sebagai insentif dan keberpihakan terhadap wanita tani di pedesaan. Perlu kaji tindak dan revitalisasi mekanisme kerja penyuluhan untuk lebih melibatkan wanita tani dalam mempercepat adopsi teknologi.

    Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan
    Daftar Pustaka
    BBKP. 2003. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Bachrein, S., I. Ishaq, dan V.W. Rufaidah. 2000. Peranan wanita dalam pengembangan usahatani di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Cikelet, Garut). Jurnal JP2TP 3(1).
    BPS (1990-2006). Data kependudukan. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
    Elizabeth, R. 2007a. Remitansi bekerja dari luar negeri dan diversifikasi usaha rumah tangga di pedesaan. Tesis IPB, Bogor.
    Elizabeth, R. 2007b. Pengarusutamaan gender melalui managemen sumberdaya keluarga dan diversifikasi pendapatan rumah tangga petani di pedesaan: antara harapan dan kenyataan. Makalah Lokakarya Pengarusutamaan Gender. FEMA IPB Bogor bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI.
    International Rice Research Institute. 1987. Woman in rice farming systems: an operational research and training program.
    Training and Workshop Gender Analysis. November 1994. IRRI. Manila. Philippines.
    Manning, C. 2000. Labour market adjustment to indonesia s economic crisis: context, trend, and implications.
    Bulletin of Indonesian Economic
    Studies (BIES) 36(1)105-136.
    Paris, T.R. 1987. Women in rice farming system: a preliminary report of an action research program in Sta. Barbara. Pangasinan. IRRI. Los Banos. Phillipines.
    Sadra, D.K., R. Elizabeth, H. Supriadi, K.S. Indraningsih, dan J.H. Sinaga. 2006. Analisis pola pengembangan multi usaha rumah tangga. PSEKP. Bogor.

    Sajogyo, P. 1994. Peranan wanita dalam perkembangan ekonomi. Obor.
    Jakarta.
    Sumaryanto, Roosganda, S. Pasaribu, A. Tarnyoto, dan B. Sayaka. 1994. Studi dinamika penguasaan lahan dan kesempatan kerja. Patanas.
    PSE, Bogor.
    Syamsiah, I., I. P. Wardana, dan S. Suriapermana. 1992. Partisipasi wanita dalam sistem usahatani di lahan sawah irigasi. Puslitbangtan. Bogor.
    Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008

  20. Hozali Desember 10, 2010 pada 4:51 am #

    Nama : Hozali
    NPM : 200902667
    Kelas : E
    Semester : V

    KEDAULATAN PANGAN & NASIB PERTANIAN INDONESIA

    “Bahaya kelaparan?…
    Di pulau Jawa yang subur dan kaya itu, bahaya kelaparan? Ya, saudara pembaca. Beberapa tahun yang lalu ada distrik-distrik yang seluruh penduduknya mati kelaparan,…ibu-ibu menjual anak-anak untuk makan,…ibu-ibu memakan anaknya sendiri”

    LAPORAN WORLD FOOD PROGRAM
    • Diperkirakan 854 juta jiwa di seluruh dunia terancam kelaparan.
    • Kelompok rawan pangan ini bertambah sekitar 4 juta jiwa per tahun.

    PENYEBAB KRISIS PANGAN
    • PERTAMBAHAN PENDUDUK
    • KERUSAKAN LINGKUNGAN
    • KONVERSI LAHAN & PENURUAN KUALITAS LAHAN PERTANIAN
    • TINGGINYA HARGA BAHAN BAKAR FOSIL (Transportasi & Perdagangan Gandum Antar Negara melalui 3885 Km atau mendekati 4 kali panjang Pulau Jawa)
    • PERUBAHAN POLA KONSUMSI
    • PEMANASAN GLOBAL & PERUBAHAN IKLIM
    • KEBIJAKAN LEMBAGA KEUANGAN INTERNASIONAL & NEGARA MAJU.
    KASUS KRISIS PANGAN DI HAITI
    • Negara Haiti adalah salah satu penghasil beras. Kemampuan produksinya 170.000 ton beras/tahun (mencukupi 95 % kebutuhan domestik).
    • Krisis ekonomi terjadi pada tahun 1995, yang memaksa Haiti menerima bantuan & SAP dari IMF.
    • Salah satu kebijakan IMF adalah memangkas tarif impor beras dari 35 % menjadi 3 %.
    Dampaknya beras dari Amerika leluasa masuk ke pasar domestik dan menghancurkan sektor pertanian. Ribuan petani kehilangan mata pencaharian
    KEBIJAKAN NEGARA MAJU
    • Tahun 2003, subsidi yang diberikan pemerintah AS kepada petaninya sebesar US$ 1,7 Milyar atau rata-rata US$ 232/hektar.

    • Pada 30 negara terkaya, subsidi pertanian menyumbang 30 % pendapatan petani dengan total nilai subsidi mencapai US$ 280 Milyar.

    • Kebijakan bantuan pangan untuk melayani kepentingan raksasa agrobisnis & perusahaan perkapalan (bantuan pangan diproduksi, diproses, dan dikapalkan oleh perusahaan AS).

    • GMO (Genetically Modified Organism) yang disalurkan pada petani miskin. Kasus di Ethiophia.

    PERTANIAN INDONESIA SAAT DIDIKTE IMF & WORLD BANK
    • Selama 20 tahun terakhir, pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Kebijakan tersebut berada di bawah arahan dan dikte dua lembaga keuangan internasional yaitu IMF dan Bank Dunia.

    • Beberapa bentuk kebijakan yang telah diambil antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.), dan pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya merubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).

    • Naiknya harga berbagai bahan pangan dalam kenyataannya relatif tidak membawa keuntungan bagi petani. Nilai tambah dari kondisi membaiknya harga bahan pangan ternyata dinikmati oleh kaum pedagang. Penelitian Analisis Rantai Pemasaran Beras Organik dan Konvensional: Studi Kasus di Boyolali Jawa Tengah (Surono-HIVOS, 2003) menunjukkan bahwa pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dalam rantai perdagangan beras adalah pengusaha penggilingan (huller), pedagang besar dan pedagang pengecer. Yang lebih memprihatinkan, sejak program Raskin diluncurkan pemerintah, petani adalah pihak yang paling banyak menjadi penerima tetap beras Raskin. I

    “Kolonialisasi lama hanya merampas tanah,
    sedangkan kolonialisasi baru merampas seluruh kehidupan”
    (Vandana Shiva)

    KEDAULATAN PANGAN

    • Organisasi dunia buruh tani dan petani dunia La Via Campesina mengeluarkan konsep alternatif yang disebut kedaulatan pangan (food sovereignty). Kedaulatan pangan didefinisikan sebagai hak sebuah negara dan petani untuk menentukan kebijakan pangannya dengan memprioritaskan produksi pangan lokal untuk kebutuhan sendiri, menjamin ketersediaan tanah subur, air, benih, termasuk pembiayaan untuk para buruh tani dan petani kecil serta melarang adanya praktek perdagangan pangan dengan cara dumping.

    • Hak menentukan kebijakan pangan sendiri yang dimaksud oleh kedaulatan pangan adalah bahwasanya para buruh tani dan petani itu sendiri yang menentukan pemilihan cara produksi, jenis teknologi, hubungan produksi, distribusi hingga menyangkut masalah keamanan pangan. Karena itu melalui kedaulatan pangan semua jenis aktivitas produksi pangan harus dikerjakan oleh para petani itu sendiri, sehingga yang dinamakan kedaulatan pangan tersebut dimiliki oleh petani bukan oleh pengusaha.

    VISI PEMENUHAN PANGAN

    • Agrikultur dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pangan seluruh umat manusia. Tetapi kenyataannya pangan sekedar komoditi dimana faktor-faktor penyetirnya adalah fungsi ekonomi.

    • Pangan sebagai hak dasar sehingga kelaparan harus dihilangkan menjadi visi yang ditinggalkan. Kelaparan modern pasca 1700 memperlihatkan bahwa kelaparan justru disebabkan karena kebijakan yang tidak memprioritaskan keselamatan rakyatnya. Kelaparan di Irlandia 1845-1849 terjadi setelah makanan dikirim ke Inggris yang mampu membayar lebih, begitu juga dengan kelaparan 1973 di Ethiopia. Kelaparan terbesar dalam abad 20 terjadi di China pada tahun 1958-1961 dimana 20 juta orang meninggal, dan ini disebabkan kebijakan China untuk meninggalkan pertanian dan beralih sebagian ke industri baja. (Walhi Report)

    KASUS PETANI KEDIRI & KEDAULATAN PANGAN

    • Budi Purwo Utomo mengembangkan benih jagung yang dibuat sendiri berdasarkan penelitian secara mandiri.

    • Tahun 2003, dilakukan eksperimen terhadap benih tersebut berdasarkan informasi yang diperoleh dari buku-buku ilmu pemuliaan tanaman.

    • Budi di tuntut oleh salah satu perusahaan dengan Pasal 61 UU No 12 Tahun 1992 tentang Budidaya Tanaman Junto Pasal 55 (ayat 1) dan Pasal 56 Hukum Pidana. Karena usahanya menangkar dan mensertifikasi benih dianggap illegal.Dihukum 6 Bulan Penjara dan 4 petani yang menanam benih tersebut juga dihukum penjara.

    • Jika ditelaah lebih jauh, terdapat beberapa kejanggalan dalam kasus yang dialami oleh Budi. Pertama, terdapat kesalahan penerapan hukum dalam kasus ini. Pasal yang dituduhkan kepada Budi adalah pasal mengenai “sertifikasi ilegal”. Sesuai dengan definisi sertifikasi yang terdapat dalam UU No.12 Tahun 1992, sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat benih tanaman setelah melalui pemeriksaan, pengujian, dan pengawasan serta memenuhi semua persyaratan untuk diedarkan. Jika PN Kediri merujuk pada pasal ini, jelas tak satupun kegiatan yang dilakukan oleh Budi memenuhi unsur-unsurnya. Kegiatan penangkaran atau pemuliaan benih tidak dapat disamakan dengan proses sertifikasi yang merupakan proses administratif.

    • Dibawanya kasus ini ke pengadilan justru merupakan pelanggaran terhadap hak petani. Pasal 6 Undang-undang No. 12 tahun 1992 menyatakan bahwa petani memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan jenis tanaman dan pembudidayaannya dan Pasal 11 undang-undang yang sama menyatakan bahwa setiap orang atau badan hukum dapat melakukan pemuliaan tanaman untuk menemukan varietas unggul. Berdasarkan kedua pasal tersenut, jelas terlihat bahwa yang dilakukan Budi adalah sah menurut Undang-undang dan menjatuhkan hukuman atas tindakan tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran hak.

    PERKIRAAN KRISIS PANGAN

    • INDONESIA MENGALAMI KRISIS PANGAN PADA TAHUN 2017 ?
    • Kelangkaan kedelai pada awal 2008, impor beras dan gula serta komoditi pangan lainnya, melonjaknya harga daging yang diikuti lenyapnya daging sapi pada medio Februari 2008 merupakan pertanda bahwa Indonesia belum berdaulat di bidang pangan.

    FAKTOR PERANGSANG KEBIJAKAN IMPORT PANGAN
    • Kebutuhan dalam negeri yang amat besar
    • Harga di pasar international yang rendah
    • Produksi dalam negeri yang tidak mencukupi,
    • Adanya bantuan kredit impor dari negara Eksportir.

    KONDISI SAAT INI DI INDONESIA

    • Kemampuan pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri, relatif telah dan sedang menurun dengan sangat besar.
    • Pada waktu ini Indonesia berada dalam keadaan “Rawan Pangan” bukan karena tidak adanya pangan, tetapi karena pangan untuk rakyat Indonesia sudah tergantung dari Supply Luar Negeri, dan ketergantungannya semakin besar.
    • Pasar pangan amat besar yang kita miliki diincar oleh produsen pangan luar negri yang tidak menginginkan Indonesia memiliki kemandirian di bidang pangan.

    KESEPAKATAN INTERNASIONAL & KEDAULATAN PANGAN

    • Agreement on Agriculture (AoA) Tahun 1995.
    • AFTA TAHUN 2003 (beras, gula, produk daging, gandum, bawang putih, cengkeh )
    • ASIA PASIFIK TAHUN 2010 PASAR BEBAS DUNIA TAHUN 2020

    DATA KONVERSI LAHAN PERTANIAN PRODUKTIF

    • Sekitar 60% penduduk Indonesia tinggal di pedesaan.
    • 70% dari total penduduk di pedesaan yang berjumlah 21.141. 273 rumah tangga hidup dari pertanian. Sebagian besar adalah petani pangan berupa padi dan holtikultura. Sebagian lain di perkebunan, peternakan, hasil hutan dan perikanan.
    • Setengah dari petani itu, 50% adalah petani yang memiliki lahan yang sempit, kurang dari 0,5 ha bahkan tuna kisma, sehingga sebagian besar bekerja sebagai buruh tani dan buruh perkebunan.

    JUMLAH DAERAH YANG DIPERKIRAKAN MENGALAMI KRISIS PANGAN
    • 150 Kabupaten/kota dari 480 Kabupaten/Kota

    PERENCANAAN KEBIJAKAN PEMBANGUNAN DI INDONESIA
    • UU 17 TAHUN 2007 (RPJPN)
    • Perpres No Tahun 2005 RPJMN (2005-2009)
    • RPJMN 2009-2014 (dalam proses penyusunan di Bappenas)

  21. Rio Taopan Desember 10, 2010 pada 5:02 am #

    Nama : Rio Taopan
    NPM : 200902668
    Kelas : E
    Semester : V
    Jurusan : Manajemen
    Mata Kuliah : Ekonomi Pembangunan Daerah

    Peran Ganda Wanita Tani dalam Mencapai Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan

    Ringkasan
    Sektor pertanian dan lapangan kerja formal tidak banyak dapat menyerap tenaga kerja wanita, padahal 50% dari total penduduk Indonesia adalah wanita. Lebih dari 70% wanita (sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan dan 55% di antaranya hidup dari pertanian. Masuknya teknologi pertanian dan timbulnya berbagai pranata baru yang mengatur pola hubungan kerja antarpemilik lahan dan pekerja, diindikasi dapat melemahkan posisi wanita tani, padahal wanita dapat menghasilkan pendapatan untuk mengurangi keterbatasan ekonomi rumah tangga. Peningkatan produktivas lahan, usahatani, dan pendapatan rumah tangga dari usaha minapadi dan bebek cukup baik dan berpotensi mencapai ketahanan pangan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Wanita tani perlu dibina dan diberdayakan sebagai receiving system untuk mempercepat proses alih teknologi. Perlu kaji tindak dan revitalisasi mekanisme kerja penyuluhan untuk lebih melibatkan wanita tani dalam mempercepat adopsi teknologi. Diperlukan pula strategi perbaikan upah agar berimbang antarjender sebagai insentif dan keberpihakan terhadap wanita tani. Pembangunan di pedesaan telah mengakibatkan terjadinya berbagai perubahan, terutama pada struktur ekonomi dan budaya masyarakat pedesaan, khususnya petani. Paradigma modernisasi dalam pembangunan pertanian yang mengutamakan prinsip efisiensi berdampak terhadap perubahan struktur ekonomi rumah tangga petani. Pembangunan pertanian di pedesaan telah menyebabkan pertumbuhan perekonomian yang pesat, meski belum sepenuhnya diimbangi oleh peningkatan struktur pendapatan rumah-tangga petani. Hal tersebut disebabkan karena laju pergeseran ekonomi sektoral relatif lebih cepat dibanding laju pergeseran tenaga kerja, dimana titik balik aktivitas ekonomi di Indonesia lebih dulu tercapai dibanding titik balik tenaga kerja (labor turning point) (Manning 2000).
    Perubahan yang terjadi terutama berkaitan erat dengan pola penguasaan dan pengusahaan lahan, pola hubungan dan struktur kesempatan kerja, yang akhirnya bermuara pada struktur pendapatan petani di pedesaan. Lahan pertanian yang terus menyempit karena tingginya kebutuhan akan lahan 1 Peneliti pada Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan merupakan dampak dari pesatnya arus industrialisasi, kebutuhan prasarana ekonomi, dan pemukiman, sedangkan usaha pembukaan lahan pertanian baru belum sebanding dengan kebutuhan. Meski demikian, sektor pertanian dan lapangan kerja primer tidak terlalu banyak menyerap tenaga kerja wanita. Kondisi tersebut didasari dan diperkuat oleh anggapan bahwa kaum wanita selayaknya mengurus rumah tangga dan keluarga, sementara kaum pria diharapkan lebih banyak berperan di sektor publik. Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian mayoritas angkatan kerja di Indonesia. Pembangunan pertanian bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani, pertumbuhan kesempatan kerja dan berusaha, meningkatkan gizi dan ketahanan pangan rumah tangga, dan mengentaskan kemiskinan di pedesaan. Semua ini berkaitan erat dengan peran, tugas, dan fungsi wanita di pedesaan. Berpedoman kepada pendapatan rumah tangga yang dapat dihasilkan oleh suami maupun istri (pola nafkah ganda), wanita memiliki peluang kerja yang dapat menghasilkan pendapatan bagi rumah tangganya, sebagai upaya mengurangi kemiskinan di pedesaan. Makalah ini mengemukakan berbagai pemikiran yang memungkinkan berperannya wanita tani sebagai pelaku usaha dan penghasil pendapatan dalam upaya mencapai ketahanan pangan rumah tangga menuju kesejahteraan keluarga petani di pedesaan. Pendekatan Peran dan Status Sosial Wanita Tani Peran dan kedudukan merupakan dua aspek penting dalam hubungan sosial bermasyarakat. Peran merupakan perilaku individu yang penting bagi struktur sosial, yang akhirnya akan memberikan fasilitas tertentu sesuai dengan peranan tersebut. Peran (role) merupakan aspek dinamis dari status, bilamana seseorang telah melakukan kewajiban sesuai dengan statusnya, maka ia telah berperan. Status sering diakronimkan menjadi kedudukan, yang mengindikasikan posisi seseorang secara sosial di masyarakat. Dengan kata lain, kedudukan memberikan seseorang sebuah peran sebagai pola interaksi dalam bersosialisasi (bermasyarakat).
    Berbagai pendekatan dapat digunakan untuk mengkaji peran dan kedudukan/status sosial wanita tani, namun pada dasarnya bermula dari penelaahan the family structure (struktur keluarga) sebagai unit terkecil dalam sistem masyarakat (society) dan kekerabatan (kinship). Levy (dalam: Sajogyo 1994) mengemukakan pentingnya memperhatikan lima substruktur berikut:
    (1) diferensiasi peranan,
    (2) alokasi ekonomi,
    (3) alokasi solidaritas,
    (4) alokasi kewibawaan/kekuasaan, dan
    (5) alokasi integrasi dan ekspresi.
    Seluruh substruktur tersebut berfungsi sebagai pendukung kelangsungan hidup sistem kekerabatan dalam rumah tangga maupun dalam bersosialisasi dan bermasyarakat. Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 Diferensiasi peranan merupakan analisis struktural, yang mengkaji status atau posisi beserta perbedaan dari masing-masing anggota rumah tangga berdasarkan jenis kelamin, umur, generasi, ekonomi, dan kekuasaan.Alokasi ekonomi merupakan pengukuran imbalan curahan tenaga kerja anggota rumah tangga yang diperlukan bagi eksistensi rumah tangga dalam memenuhi konsumsi (kebutuhan) barang dan jasa.Alokasi ekonomi berhubungan dengan alokasi solidaritas anggota rumah tangga (pria, wanita, dewasa, anak-anak) dalam berfungsi atau tidak berfungsinya peranan masing-masing terhadap perolehan pendapatan (cash atau natura) dan pengeluaran rumah tangga. Alokasi wewenang (wibawa) dan kekuasaan mencerminkan berfungsi atau tidak berfungsinya suatu rumah tangga karena peran masing-masing anggotanya. kekuasaan mencakup kemampuan seseorang (personal resource)) untuk mengambil kekuasaan dan diakui oleh pihak lain. Kekuasaan dan wewenang dalam pelaksanaannya akan berhubungan dengan alokasi integrasi dan ekspresi yang mencerminkan kondisi senilai (equally) atau tidak senilai (inequally) antaranggota rumah tangga. Dalam suatu masyarakat akan terjadi keseimbangan apabila peran dan kedudukan berjalan secara seimbang.
    Namun, apabila semua orang mampu berperan sesuai peranannya, maka belum tentu masyarakat memberi peluang yang seimbang pula. Bahkan seringkali ditemukan masyarakat .terpaksa..membatasi peluang-peluang tersebut, seperti halnya yang terjadi pada kaum wanita tani di pedesaan, yang semuanya berkaitan dengan kemampuan (potensi) yang melekat di diri mereka. Potensi merupakan kemampuan sebagai daya dukung yang dimiliki secara khas oleh masing-masing individu, yang membuatnya mampu berperan sesuai atau tidak sesuai dengan kedudukannya. Data kependudukan BPS (1990-2006) menunjukkan 50% dari total penduduk Indonesia adalah wanita, lebih dari 70% wanita (sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan dan 55% di antaranya hidup dari pertanian (Elizabeth 2007b). Data tersebut menunjukkan betapa besarnya potensi wanita tani sebagai tenaga kerja yang perlu dioptimalkan pemanfaatannya melalui pembinaan dan peningkatan efektivitasnya. Dengan demikian, diperlukan pembinaan peran wanita tani, terutama produktivitasnya, baik sebagai anggota rumah tangga maupun pengusaha mandiri, agar mampu meningkatkan pendapatan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Perbedaan status/posisi setiap anggota rumah tangga merupakan pengkajian diferensiasi peranan, berdasarkan perbedaan umur, jenis kelamin, posisi ekonomi, generasi, atau kekuasaan. Perbedaan tersebut merupakan analisis struktural, yang sebagian besar disebabkan oleh alasan biologis dan sosial budaya di lingkungan suatu rumah tangga. Pada dasarnya wanita memiliki peranan ganda dalam rumah tangga, yang terimplikasi pada (1) peran kerja sebagai ibu rumah tangga (feminine role), yang meski tidak langsung menghasilkan pendapatan namun secara produktif bekerja mendukung kaum Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan pria (kepala keluarga) untuk mencari penghasilan (uang); dan (2) peran sebagai pencari nafkah (tambahan atau utama). Dalam mengkaji alokasi ekonomi (sumber pendapatan) dan solidaritas rumah tangga sudah seharusnya pendapatan dari pola nafkah ganda menjadi fokus pembahasan. Sumbangan wanita tani cukup besar dalam penghasilan keluarga, yang tercermin pada penghasilan yang mereka peroleh dari bekerja di lahan usahatani sendiri atau sebagai buruh tani, maupun sebagai tenaga kerja di luar sektor pertanian.
    Di samping bekerja di luar pertanian yang langsung memberi penghasilan, seperti industri rumah tangga, kerajinan, berdagang, dan buruh musiman di kota, wanita tani juga disibukkan oleh pekerjaan utama yang terpenting meski tidak memberi penghasilan langsung, yaitu mengurus rumah tangga dan sosialisasi berkeluarga. Peran wanita tani dapat didukung oleh pendekatan curahan waktu/tenaga (White 1976, dalam Sajogyo 1994) yang imbalannya akan memiliki nilai ekonomi (menghasilkan pendapatan) maupun nilai sosial (mengurus/mengatur rumah tangga dan solidaritas mencari nafkah dalam menghasilkan pendapatan rumah tangga). Dengan demikian, peran ganda wanita merupakan pekerjaan produktif karena meliputi mencari nafkah (income earning work) dan mengurus rumah tangga (domestic/household work) sebagai kepuasan dan berfungsi menjaga kelangsungan rumah tangga (Sajogyo 1994). Curahan waktu/tenaga dalam pembagian kerja suatu rumah tangga tentu berkaitan dengan distribusi dan alokasi wewenang/kekuasaan (kewibawaan), yang berujung pada pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Distribusi kekuasaan dan wewenang di antara suami-istri mungkin senilai/seimbang (equal) atau sepihak (inequal), yang bergantung kepada sumber daya pribadi ketika dibawa dalam hubungan rumah tangga. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem keluarga (family orientation), kekerabatan (kinship), dan sosial budaya masyarakat (social society culture) suatu daerah. Mengurus dan mengatur rumah tangga pada dasarnya merupakan pekerjaan yang ekonomis produktif. Hal tersebut ditemukan bilamana pelaksanaannya diserahkan/digantikan oleh orang lain yang diberi imbalan atas pekerjaannya mengurus rumah tangga (upah). Dengan demikian jelas bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan pekerjaan produktif, karena akan bernilai ekonomis bila ditransformasikan kepada pihak jasa tenaga kerja bayaran (paid worker). Peran Wanita Terkait Proses Alih Teknologi Pada rumah tangga petani di pedesaan, wanita tani sebagai istri berperan penting karena bertanggung jawab penuh dalam mengatur dan mengendalikan stabilitas dan kesinambungan hidup keluarga. Pengaturan pengeluaran hidup Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 rumah tangga yang menyangkut kesehatan dan gizi keluarga, pendidikan anak-anak, dan kelangsungan hidup dalam masyarakat membutuhkan keterampilan dan pengetahuan home economic.
    Pada semua strata, jumlah dan curahan waktu/tenaga wanita dalam mengurus kelangsungan rumah tangga lebih tinggi dibanding pria sebagai kepala keluarga. Di sisi lain, sebagai anggota rumah tangga petani, wanita tani berperan aktif dalam membantu aktivitas usahatani dan mencari nafkah di subsektor off dan non farm. Makin luas lahan usahatani yang digarap, makin banyak tenaga wanita yang tercurah, yang mengindikasikan variasi dan ragam aktivitas dan kuantitas curahan waktu/tenaga wanita tani. Makin rendah tingkat ekonomi suatu rumah tangga petani, makin besar curahan waktu/tenaga wanita dalam menghasilkan pendapatan keluarga (Elizabeth 2007). Bila wanita tani berstatus janda atau suami bekerja di rantau, otomatis wanita tani akan berperan ganda, yaitu sebagai kepala keluarga (yang mengatur segala urusan rumah tangga) dan sebagai pengelola usahatani keluarga. Dengan demikian, peran wanita tani pada berbagai keadaan dan kedudukan, membutuhkan teknologi yang dapat mengatasi segala permasalahan dalam beraktivitas dan problema semua aspek kehidupan rumah tangga. Teknologi yang menyangkut perannya sebagai ibu rumah tangga dan teknologi usahatani (produksi dan manajemen usahatani) sangat dibutuhkan, terlebih bila wanita tani berperan sebagai pengusaha (manager/pengelola) usahataninya. Tenaga dan waktu wanita pengusaha tani lebih banyak tercurah untuk aktivitas pengelolaan usahataninya, sehingga untuk mengurus rumahtangga terkadang harus dilimpahkan kepada anggota keluarga lain dalam rumah tangga tersebut atau kepada tenaga kerja jasa (pembantu rumah tangga). Teknologi juga dibutuhkan oleh kaum wanita tani yang berkecimpung di bidang alih teknologi, yaitu sebagai anggota atau ketua kelompok tani. Wanita ketua kelompok tani berperan penting sebagai mitra kerja penyuluh dalam menyampaikan dan mengajarkan teknologi dari penyuluh kepada anggota kelompoknya dalam rangka terlaksananya proses alih teknologi. Wanita yang berperan sebagai ketua kelompok tani membutuhkan peningkatan pengetahuan dan keterampilan terkait dengan peningkatkan pengelolaan usahatani, kepemimpinan, pembinaan organisasi, komunikasi, dan penyuluhan. Untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan kaum wanita tani diperlukan pembinaan dan pemberdayaan agar mereka dapat berfungsi dan berperan dalam menyerap teknologi dan sebagai receiving system.
    Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan Peran dan Produktivitas Tenaga Kerja Wanita Tani di Lahan Sawah Irigasi Berbagai penelitian menunjukkan besarnya kontribusi kaum wanita di bidang pertanian di pedesaan (Sajogyo 1984, Bachrein 2000, Elizabeth 2007a). Kontribusi nyata tersebut merupakan peran penting tenaga kerja wanita menyangkut kegiatan menanam, menyiang/memelihara, memanen, merontok, membersihkan (menampi), pascapanen, pemasaran hasil, dan sebagainya. Selain memikul tugas penting dalam mengurus rumah tangga, wanita tani juga berperan aktif dalam proses produksi sehingga patut diberi teknologi tepat guna untuk mengurangi beban kerjanya, agar perannya sebagai ibu rumah tangga tidak terbengkalai. Di beberapa desa di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat, kaum wanita tani umumnya berperan aktif dalam setiap kegiatan usahatani dan mencari nafkah rumah tangga di subsektor pertanian (misalnya sebagai buruh pabrik, pembantu rumah tangga). Pada usahatani, kegiatan yang umum dilakukan kaum wanita tani adalah menanam, menyiang/memelihara, mengendalikan gulma, memanen, merontok, membersihkan (menampi), pascapanen, pemasaran hasil. Persiapan dan pengolahan lahan (membuat galengan/ pematang), pesemaian, pemupukan, dan penyemprotan umumnya dilakukan oleh kaum pria, dimana kegiatan panen dan pascapanen seimbang antara pria dan wanita (Elizabeth 2007b). Distribusi dan alokasi tenaga kerja pria (traktor dikonversi menjadi tenaga kerja pria) dan wanita (dalam dan luar keluarga) dalam sistem usahatani minapadi-bebek dikemukakan pada Tabel 1. Peran dan produktivitas tenaga kerja wanita meningkat pada usaha ikan dan bebek, terutama dalam pemberian pakan, panen, pengumpulan telur (bebek), penjualan ikan dan telur (pemasaran). Pria lebih berperan dalam pengambilan keputusan untuk pengeluaran usahatani (pupuk, obat-obatan), pengelolaan sumber daya lahan, alat pengolahan tanah (traktor, kerbau), dan pascapanen (tresher). Wanita berperan atas penyimpanan benih padi dan pengeluaran rumah tangga. Untuk menentukan varietas padi, mencari tenaga luar keluarga, memasarkan hasil, dan keperluan tertentu (membeli sepeda motor, televisi, dan lain-lain) dilakukan bersama-sama. Data pada Tabel 1 menunjukkan usahatani minapadi dan ternak unggas (bebek) atau yang disebut parlabek (minapadi-bebek) umum dilakukan oleh petaninya.
    Dari hasil analisis jender secara kualitatif dan empiris, dapat dikemukakan bahwa peran wanita meningkat dalam pemeliharaan ikan dan bebek. Pengendalian gulma hampir tidak ada, sehingga waktu kerja wanita dapat dialihkan untuk memelihara ikan, bebek, dan aktivitas rumah tangga. Pengalihan waktu kerja tersebut dimungkinkan karena gulma sudah dimakan Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 Tabel 1. Distribusi tenaga kerja pria dan wanita pada usahatani minapadi bebek, di Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat. MK dan MH 2006-2007. MH 2006 (HOK) MK 2006 (HOK) Aktivitas TKP TKW TKP TKW Padi Pengolahan tanah 27 -27 -Persemaian 5 -8 -Cabut bibit -3 -3 Angkut bibit 2 -18 -Membuat garis 3 –3 Tanam pindah -20 -14 Penyiangan 3 17 3 14 Pemupukan 6 -6 – Penyemprotan 3 -6 – Pengairan 4 -4 -Babat galengan 6 -6 -Panen 22 25 22 25 Menampi -3 -3 Pengeringan 2 2 2 2 Mengangkut padi 1 -1 -Menggiling padi 1 1 1 1 Pemasaran 1 1 1 1 Ikan Pembuatan caren 5 -5 -Angkut dan tanam benih -1 1 -Memberi pakan 8 6 8 6 Panen 5 2 5 2 Menjual ikan 0,75 0,75 0,75 0,75 Bebek Membuat pagar 3 —Membuat kandang 3 —Memberi pakan 21 20 21 20 Mengumpulkan telur -15 -15 Menjual telur -2 -2 TKP = Tenaga Kerja Pria; TKW = Tenaga Kerja Wanita Sumber: Elizabeth 2007b. ikan dan bebek sebelum sempat berkembang, sehingga dapat mengurangi biaya penyiangan sebesar 40-75%. Beberapa hal mendasar yang perlu mendapat perhatian adalah cukup mencoloknya perbedaan tingkat upah yang diterima kaum wanita tani dibanding kaum pria, terutama untuk kegiatan tanam dan penyiangan. Kedua kegiatan Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan ini cukup berat karena dilakukan dengan tangan sambil membungkuk selama setengah hari dengan upah Rp 15.000-20.000 per hari, separuh dari upah yang diterima pria dengan jenis kegiatan dan jam kerja yang sama. Kegiatan menyiang tanaman padi sawah umumnya membutuhkan lebih dari 40 HOK per hektar. Kenyataan tersebut kurang adil dan perlu dicarikan solusinya. Selain dapat mengurangi biaya penyiangan karena populasi gulma berkurang, bebek dan ikan juga merupakan predator bagi serangga atau hama padi, sehingga dapat mengurangi biaya penyemprotan. Di samping itu, pengalihan tenaga kerja wanita dari kegiatan penyiangan dapat dialokasikan (terkait upaya pemberdayaan) ke jenis kegiatan lainnya (misalnya memelihara/memberi pakan ternak).
    Dengan populasi ikan 3000-5000 ekor/ha dan itik 20-30 ekor/ha dapat meningkatkan produktivas lahan. Peningkatan pendapatan rumah tangga dari minapadi dan bebek juga cukup baik. Telur bebek dapat dikumpulkan dan dijual setiap 5-10 hari dengan harga Rp 700-900 per butir dan harga bebek Rp 20.000-30.000 per ekor, di samping menjual anak bebek sebagai bibit. Ikan dapat dipanen pada umur 45-60 hari dengan harga Rp 8.000-12.000 per kg, dan tambahan pendapatan dari menjual induk ikan atau anak ikan sebagai bibit. Dalam hal pengambilan keputusan, pria dan wanita sebetulnya berperan seimbang, meski sekilas terlihat adanya pembagian. Suami dan isteri bersama-sama memutuskan biaya produksi, penyiangan, dan panen. Pria lebih mendominasi dalam persiapan tanam, pemupukan, pengendalian hama penyakit, dan budi daya ternak. Wanita lebih mendominasi pengelolaan hasil, penyimpanan, pemasaran, dan pendistribusian (pemakaian) pendapatan yang diperoleh, terutama untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan pengeluaran rutinitas rumah tangga. Ketahanan Pangan Meski posisi wanita demikian penting, namun berbagai pemasalahan dan kendala masih menaungi wanita tani. Secara internal terdapat berbagai kendala untuk memajukan peran wanita, karena masih relatif rendahnya tingkat pendidikan, keterampilan, motivasi, dan rasa percaya diri. Secara eksternal, berbagai dukungan sosial masyarakat, nilai budaya, teknologi tepat guna, dan kebijakan masih kurang berpihak kepada wanita. Kaum wanita lebih peka dan tanggap terhadap berbagai kesempatan (peluang), dan sebagai pelaku usaha dalam menambah (bahkan mencari) pendapatan (melalui adopsi teknologi baru) demi mencapai kesejahteraan rumah tangga. Dengan meningkatnya pendapatan yang diperoleh melalui pola nafkah ganda sebagai konsekuensi peran ganda wanita tani, maka kebutuhan pangan rumah tangga sehari-hari diharapkan dapat terpenuhi. Terkait kondisi tersebut, Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008 strategi ketahanan pangan akan lebih tepat, paling tidak pada tingkat rumah tangga. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia untuk dapat hidup dan beraktivitas. Memperoleh pangan yang baik dan cukup adalah bagian dari hak azasi manusia (Universal of Human Right).

    Ketahanan pangan merupakan kondisi pemenuhan pangan bagi suatu rumah tangga, yang mengindikasikan kecukupan akan pangan yang baik, aman, merata dalam kuantitas dan kualitas, serta terjangkau oleh masyarakat luas (BBKP 2003). Peningkatan produktivitas tenaga kerja wanita tani memiliki peran dan potensi yang strategis dalam mendukung peningkatan maupun perolehan pendapatan rumah tangga pertanian di pedesaan. Berbagai masalah dan kendala, baik secara internal maupun eksternal, merupakan tantangan yang perlu diatasi melalui berbagai cara, seperti: perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, peningkatan efektivitas penyuluhan dan pelatihan, perbaikan regulasi pengupahan, fasilitas, dan kesempatan kerja. Peluang-peluang tersebut dapat merupakan insentif dan keberpihakan kepada wanita tani. Informasi ini juga sebagai umpan balik (masukan) bagi perencana, penyusun, dan pengambil kebijakan. Kesimpulan dan Saran Peran ganda wanita tani sangat strategis dalam peningkatan produktivitas usahatani dan berpotensi untuk meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan menuju kesejahteraan rumah tangga petani di pedesaan. Wanita tani berpeluang dan mampu berperan sebagai mitra kerja penyuluh dalam proses alih teknologi pertanian di pedesaan Meningkatnya peran dan produktivas wanita tani sebagai pengurus rumah tangga dan tenaga kerja pencari nafkah (tambahan maupun utama), juga berhubungan erat dengan perannya sebagai pelaku usaha dalam upaya peningkatan pendapatan dan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga, menuju pencapaian ketahanan pangan dan kesejahteraan rumah tangga. Pembinaan wanita tani perlu ditingkatkan dan diberdayakan sebagai receiving system untuk mempercepat proses penyerapan teknologi oleh wanita tani. Perlu strategi perlindungan terhadap tenaga kerja wanita, meningkatkan efektivitas penyuluhan dan pelatihan, perbaikan regulasi, fasilitas, upah, dan kesempatan kerja agar berimbang antarjender, sebagai insentif dan keberpihakan terhadap wanita tani di pedesaan. Perlu kaji tindak dan revitalisasi mekanisme kerja penyuluhan untuk lebih melibatkan wanita tani dalam mempercepat adopsi teknologi.

    Elizabeth: Wanita Tani dalam Pencapaian Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Pedesaan
    Daftar Pustaka
    BBKP. 2003. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta. Bachrein, S., I. Ishaq, dan V.W. Rufaidah. 2000. Peranan wanita dalam pengembangan usahatani di Jawa Barat (Studi Kasus: Kecamatan Cikelet, Garut). Jurnal JP2TP 3(1).
    BPS (1990-2006). Data kependudukan. Badan Pusat Statistik. Jakarta.
    Elizabeth, R. 2007a. Remitansi bekerja dari luar negeri dan diversifikasi usaha rumah tangga di pedesaan. Tesis IPB, Bogor.
    Elizabeth, R. 2007b. Pengarusutamaan gender melalui managemen sumberdaya keluarga dan diversifikasi pendapatan rumah tangga petani di pedesaan: antara harapan dan kenyataan. Makalah Lokakarya Pengarusutamaan Gender. FEMA IPB Bogor bekerjasama dengan Kementrian Pemberdayaan Perempuan RI.
    International Rice Research Institute. 1987. Woman in rice farming systems: an operational research and training program.
    Training and Workshop Gender Analysis. November 1994. IRRI. Manila. Philippines.
    Manning, C. 2000. Labour market adjustment to indonesia s economic crisis: context, trend, and implications.
    Bulletin of Indonesian Economic
    Studies (BIES) 36(1)105-136.
    Paris, T.R. 1987. Women in rice farming system: a preliminary report of an action research program in Sta. Barbara. Pangasinan. IRRI. Los Banos. Phillipines.
    Sadra, D.K., R. Elizabeth, H. Supriadi, K.S. Indraningsih, dan J.H. Sinaga. 2006. Analisis pola pengembangan multi usaha rumah tangga. PSEKP. Bogor.

    Sajogyo, P. 1994. Peranan wanita dalam perkembangan ekonomi. Obor.
    Jakarta.
    Sumaryanto, Roosganda, S. Pasaribu, A. Tarnyoto, dan B. Sayaka. 1994. Studi dinamika penguasaan lahan dan kesempatan kerja. Patanas.
    PSE, Bogor.
    Syamsiah, I., I. P. Wardana, dan S. Suriapermana. 1992. Partisipasi wanita dalam sistem usahatani di lahan sawah irigasi. Puslitbangtan. Bogor.
    Iptek Tanaman Pangan Vol. 3 No. 1 -2008

  22. kiki sugianto Desember 10, 2010 pada 6:56 am #

    Nama : Kiki Sugianto
    NPM : 200902669
    Kelas : E
    Semester : V ( Lima )
    Judul : Memahami Konsep Kemiskinan, Pembangunan & Pemberdayaan masyarakat

    Selintas Memahami Konsep Kemiskinan, Pembangunan
    dan Pemberdayaan Masyarakat

    Konsep “pemberdayaan” (empowerment) telah mengubah konsep Pembangunan dan sekaligus strategi bagaimana mengentaskan kemiskinan khususnya di pedesaan. Perubahan ini sering disebut orang sebagai perubahan paradigma atau serangkaian perubahan mulai dari tataran konsep, teori, nilai-nilai, metodologi sampai ke tataran pelaksanaannya. Perubahan ini telah mempengaruhi isi Laporan Indeks Pembangunan Manusia (Human Index Development) yang setiap tahun dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). Organisasi ini menyatakan “pembangunan seharusnya dianyam oleh rakyat bukan sebaliknya menjadi penonton pembangunan dan seharusnya pula pembangunan memperkuat rakyat bukan justru membuat rakyat semakin lemah” Pemberdayaan menjadi konsep kunci untuk menanggapi kegagalan pelaksanaan pembangunan selama ini. Sejak dicanangkan konsep pembangunan pada akhir masa perang dunia kedua, ternyata pembangunan membuat orang semakin miskin atau jumlah orang miskin semakin banyak, gagasan modernisasi pun rontok karena tidak mampu meneteskan hasil-hasil pembangunan kepada kelompok masyarakat termiskin, pun semakin diakui bahwa pemerintah ternyata tidak mampu mengentaskan kemiskinan dan konyolnya pembangunan juga merusak lingkungan hidup.

    Kemiskinan
    Pemberdayaan amat dekat dengan konsep kemiskinan. Kemiskinan biasanya dikenali dari ketidak mampuan sebuah keluarga memenuhi kebutuhan dasar dan berbagai kaitan yang mencitrakan orang tersebut menjadi miskin. Beberapa konsep kemiskinan adalah (1) garis kemiskinan yang dikaitkan dengan kebutuhan konsumsi mininum sebuah keluarga atau sering disebut sebagai kemiskinan primer—indikasinya adalah 2 per 3 pendapatan habis buat makan, (2) kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut menjadi fenomena negaranegara dunia ketiga yang ditandai oleh keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah keluarga berada di atas garis kemiskinan tetapi rentan terjerembab ke kubangan garis kemiskinan. (3) kemiskinan missal atau kantong kemiskinan adalah kemiskinan yang melanda satu negara atau wilayah dan hal ini membuatnya menjadi kompleks dalam proses mengatasinya.

    Sedangkan Chamber (1983) berpandangan kemiskinan umumnya ditandai oleh isolasi – berlokasi jauh dari pusat-pusat perdagangan, diskusi dan informasi, kurangnya nasehat dari penyuluh pertanian, kehutanan dan kesehatan serta pada banyak kasus juga ditandai dengan ketiadaan sarana bepergian. Kelompok masyarakat miskin amat rentan karena mereka tidak memiliki sistem penyangga kehidupan yang memadai. Kebutuhan kecil dipenuhi dengan cara menggunakan uangnya yang sangat terbatas jumlahnya, mengurangi konsumsi, barter, pinjam dari teman dan pedagang. Mereka juga mengalami ketidakberdayaan yang ditandai dengan diabaikannya mereka oleh hukum, ketiadaan bantuan hukum bagi mereka, kalah dalam kompetisi mencari kerja dan mereka pun tidak memperoleh pelayanan publik yang optimal. Kemiskinan kemudian lebih ditafsirkan sebagai suatu kondisi ketiadaan access pada pilihan-pilihan dan hak-hak yang seharusnya melekat di bidang sosial, politik, ekonomi, kebudayaan dan lingkungan hidup. Konsep yang amat dekat dengan konsep kemiskinan adalah impoverishment (hal-hal menyebabkan seseorang atau sesuatu menjadi lebih miskin). Proses impoverisment adalah sebuah proses aktif menghilangkan akses dan hak-hak dasar yang secara sistematik direproduksi dan diciptakan oleh sejumlah mekanisme global seperti kerusakan lingkungan hidup, kehancuran sumberdaya rakyat, inflasi, pengangguran dan politik utang luar negeri. Proses inilah yang dikenal sebagai proses pelemahan (disempowerment) ekonomi, ekologi, sosial, politik dan kebudayaan khususnya bagi kelompok-kelompok masyarakat minoritas dan terpinggirkan.

    Pemberdayaan
    Kata “empower” atau “berdaya” dalam kamus bahasa ditafsirkan sebagai “berkontribusi waktu, tenaga, usaha melalui kegiatankegiatan berkenaan dengan perlindungan hukum”, “memberikan seseorang atau sesuatu kekuatan atau persetujuan melakukan sesuatu”, “menyediakan seseorang dengan sumberdaya, otoritas dan peluang untuk melakukan sesuatu” atau “membuat sesuatu menjadi mungkin dan layak”. Pada kamus yang lain pengertian menjadi “memberikan seseorang rasa percaya diri atau kebanggaan diri”. Definisi pemberdayaan sendiri masih dalam perdebatan teoritik. Dalam kosa kata pembangunan, konsep pemberdayaan adalah konsep yang paling sering diplesetkan (disalah-artikan) karena menyangkut gangguan pada para pemegang kekuasaan saat ini (baik nasional maupun internasional), para pihak yang tidak berdaya
    (powerlessness) serta perubahan sosial. Saat ini ada dua pemegang kekuasaan pada sistem kehidupan kita saat ini yakni (1) kelompok yang menguasai kekayaaan alam atau
    keuangan dan (2) kelompok yang menguasai ilmu pengetahuan.

    Di negara-negara dunia ketiga seperti Indonesia, kedua kekuasaan ini dipegang oleh segelintir orang. Pada pandangan semacam ini, pemberdayaan adalah upaya membongkar monopoli kekuasaan politik dan ekonomi yang dipegang oleh segelintir orang dan dialihkan kepada rakyat kebanyakan. Dan, mendorong pemerintahan yang lebih bertanggung jawab kepada rakyat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadi distribusi aset dan kekayaan yang lebih adil. Kelompok kedua menyatakan kapitalisme dan sosialisme telah gagal berkenaan dengan isu pengentasan kemiskinan. Para pemimpin lembaga-lembaga internasional dan pemerintahan nasional tidak memiliki jawaban bagaimana mengentaskan kemiskinan. Kelompok ini menyatakan harus ada perubahan kepemimpinan dengan memanfaatkan kepemimpinan masyarakat sipil untuk menemukan jalan ketiga (bukan kapitalisme ataupun sosialisme). Kedua kelompok pemikir di muka tetap mendudukan pemberdayaan sebagai sesuatu yang bersifat dari atas (top down). Karena mereka tetap percaya yang memiliki sumberdaya adalah mereka. Untuk itu mendudukan orang-orang baik di dalam lembaga-lembaga yang berkuasa (seperti Bank Dunia, Presiden, DPR, DPRD, Bupati) bisa mengubah keadaan. Kelompok ini sering disebut kelompok ilmuwan liberal atau progresif. Pemberdayaan dalam kacamata kelompok ini lebih cocok ditafsirkan sebagai bagaimana mengelola kekuasaan (power). Kelompok ketiga yang sering dikenal sebagai kelompok reformis. Kelompok ini percaya bahwa kekuasaan tidak pernah diberikan tapi
    harus direbut. Ini adalah pelajaran dari sejarah. Jadi, pemberdayaan adalah tindakan-tindak aktif untuk merebut kembali kekuasaan atas politik, ekonomi, sosial, budaya dan kekayaan alam. Karena itu konsep empowerment atau pemberdayaan dianggap sebuah konsep yang kontradiksi karena pemberdayaan hanya bias terjadi bila rakyat melakukan sendiri agar bebas dari penindasan (self-empowerment).

    Pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan dan pengentasan kemiskinan sering dikaitkan dengan beberapa hal berikut:
    􀂃 Tata relasi kekuasaan yang demokratik, transparan dan diakui publik (good governance).
    􀂃 Transformasi ekonomi menjadi komunitas yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia.
    􀂃 Promosi pengembangan komunitas melalui kekuatan sendiri dan berporos pada proses dibandingkan dengan penyelesaian suatu proyek.
    􀂃 Sebuah proses yang memungkinkan pengambilan keputusan kolektif dan dilanjutkan dengan tindakan kolektif
    􀂃 Partisipasi penuh atau sebuah proses yanng melipatkan seluruh lapisan masyarakat (tanpa terkecuali) dalam pengembangan
    agenda komunitas.

    Senarai hal-hal di muka memperkaya proses pemberdayaan menjadi suatu kebutuhan membangun kapasitas komunitas untuk mampu merespon perubahan lingkungan dengan cara mendorong perubahan internal dan eksternal yang pas dan tidak lelah melakukan pembaruan sosial (inovasi sosial). Dalam pengertian yang lebih generik, pemberdayaan komunitas berarti penguatan makna dan realitas dari prinsip-prinsip inklusivitas (seperti bagaimana melibatkan para pihak yang relevan dalam suatu proses), transparansi (keterbukaan), akuntabilitas (yang memberikan legitimasi pada setiap proses pengambilan keputusan). Konsep ini melampaui hiruk pikuk masalah pembangunan dan demokrasi, hak-hak asasi manusia, dan partisipasi tetapi bagaimana memberikan kesempatan pada anggota komunitas (termiskin, terpinggirkan) untuk memahami realitas lingkungannya (sosial, politik, ekonomi, politik, dan kebudayaan) dan
    merefleksikan faktor-faktor yang membentuk lingkungan mereka dan menentukan langkah-langkah perubahan untuk memperbaiki situasi mereka. Pemberdayaan sebagai strategi pengentasan kemiskinan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyasrakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi menjadi sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memutar-balikkan proses pemiskinan. Menemu kenali elemen-elemen atau kondisi yang dibutuhkan bagi pemberdayaan menjadi kebutuhan utama dalam memahami manifestasi konkrit pemberdayaan di tingkat basis masyarakat sebagai berikut :

    Elemen-elemen pemberdayaan termasuk:
    􀂃 Swadaya dan otonomi lokal dalam proses pengambilan
    keputusan masyarakat di tingkat desa, dan partisipasi demokrasi langsung dalam proses kepemerintahan representatif yang lebih luas. Ini akan memungkinkan masyarakat menggunakan kapasitasnya untuk memanfaatkan jasa informasi, berlatih memikirkan masa depan, melakukan eksperimen dan inovasi, berkolaborasi dengan orang lain, dan mengeksploitasi kondisi-kondisi serta sumberdayasumberdaya baru;
    􀂃 Penyediaan ruang bagi masyarakat untuk menegaskan
    kebudayaan serta kesejahteraan spiritualnya, dan pembelajaran sosial yang bertumpu pada pengalaman, termasuk pengungkapan dan penerapan kearifan lokal, di samping pengetahuan teoritis dan ilmiah;
    􀂃 Akses terhadap tanah dan sumberdaya lainnya, pendidikan untuk perubahan, dan fasilitas perumahan serta kesehatan;
    􀂃 Akses terhadap pengetahuan dan ketrampilan (dari dalam maupun dari luar) untuk mempertahankan kekayaan alam secara konstan dan kapasitas alam menerima buangan;;
    􀂃 Akses terhadap latihan ketrampilan, tehnik-tehnik pemecahan masalah, dan teknologi serta informasi tepat guna yang ada, sehingga pengetahuan serta ketrampilan yang dimiliki bias dimanfaatkan; dan
    􀂃 Partisipasi dalam proses-proses pengambilan keputusan oleh semua orang, terutama perempuan dan kelompok-kelompok yang pinggiran. Elemen-elemen pemberdayaan di atas merupakan apa yang dibutuhkan untuk memungkinkan terjadinya perubahan. Pemikiran pembangunan alternatif menekankan pada transformasi politik, ekonomi, lingkungan hidup, kelembagaan sosial serta nilai-nilai komunitas melalui pemberdayaan.

    Pembangunan yang bertumpu pada komunitas hendaknya berakar pada prinsip-prinsip berikut:
    1. Kedaulatan, kebebasan, dan demokrasi melalui partisipasi politik yang luas
    2. Komunitas lokal mengontrol sendiri sumberdayanya dan memiliki akses memadai pada informasi
    3. Membangun suatu sistem nilai yang konsisten sesuai dengan perikehidupan komunitas dan hubungan mereka dengan alam dan sumber dayanya.
    4. Membangun semangat gotong royong di antara anggota komunitas untuk membangun masa depan bersama.
    Pemberdayaan pada akhirnya memberikan kepada komunitas yang paling miskin dan terpinggirkan kapasitas yang sesungguhnya agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan baik sebagai masyarakat maupun komunitas. Transisi ini membutuhkan kesadaran sosial, partisipasi sosial yang lebih tinggi, pemanfaatan pemahaman baru atas proses ekologi perubahan dan pembaruan diri. Tekanan terbesar dalam proses pembedayaan dalam pembangunan berkelanjutan dan pengetasan kemiskinan adalah pemberdayaan sosio-ekonomi, pemberdayaan politik, pemberdayaan pendidikan, pemberdayaan teknologi dan pemberdayan kebudayaan atau spiritual.
    Pemberdayaan sosio-ekonomi ini akan mendorong individu dan komunitas memperoleh tanggung jawab bersama menentukan masa depannya dan menjadi manajer perubahan yang diinginkan.
    Pemberdayaan politik dan pendidikan melalui pendidikan kemandirian atau pendidikan pembebasan akan meningkatkan kapasitas komunitas bergelut dengan isu-isu demokrasi dan keadilan serta merasa memiliki kemampuan berbicara tentang apa yang dipikirkan dan pandangannya terhadap dunia serta menentukan sendiri kehidupan yang dibayangkan.
    Pemberdayaan teknologi melalui pengakuan atas pengetahuan local dan ketrampilan melalui kerjasama internasional adalah penting untuk memecahkan dilema pertumbuhan, kelestarian lingkungan hidup dan kesejahteraan umat manusia. Hal ini akan melibatkan perkembangan dan bertukar teknologi yang akan mampu meningkatkan produktivitas tenaga kerja, pendapatan, kesejateraann dan mengurangi dampak buruk kerusakan lingkungan hidup.
    Pemberdayaan kebudayaan dan spiritual bertujuan memahami kebudayaan dan spiritualitas sebagai basis eksistensi manusia dan sebagai landasan keberlanjutan peradaban umat manusia. Dalam perdebatan para pakar pembangunan, kebudayaan dan spiritualitas menjadi kunci dalam impelementasi pembangunan berkelanjutan. Kesimpulannya pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses dan pilihan-pilihan seperti ruang kebudayaan dan spiritual, pengakuan dan validasi pada pengetahuan lokal, pendapatan, kredit, informasi, training, dan partisipasi pada proses pengambilan keputusan.

    Penutup

    Dalam usaha mengentaskan kemiskinan di pedesaan, selama ini telah ada tiga strategi yakni (1) strategi pusat-pusat pertumbuhan yang mendorong investor membangun industri di wilayah-wilayah tertentu agar generasi pencari kerja tertarik ke pusat pertumbuhan ini, (2) strategi pemukiman kembali, dan (3) pembangunan desa terpadu. Ketiga pendekatan ini telah gagal melakukan pemberdayaan rakyat miskin dan mengentaskan kemiskinan. Karena, mereka tidak memiliki suatu proses untuk belajar dari kaum termiskin tentang kebutuhan, aspirasi dan pengetahuan mereka. Ketiga pendekatan di muka pun gagal memberikan peluang kepada kaum miskin masalah dasar mereka. Pemberdayaan bukan mengulang kesalahan 3 strategi di muka!

    Relasi antara Pemberdayaan, Kemiskinan dan Pembangunan
    Box 1. Pendidikan Kritis sebagai Alat Pemberdayaan
    Pendidikan kritis menjadi salah satu metodologi pemberdayaan yang paling populer. Karena, pendidikan kritis menggunakan metode berfikir dialektika. Proses pendidikan kritis selalu dimulai dari pengalaman nyata rakyat dalam penggorganisasian dan bekerja (praktek), kemudian dilanjutkan dengan proses menstrukturkan pengalaman mereka (teori) dan selanjutnya mendorong mereka menemukan tindakan strategis baru bertumpu pada pemahaman baru dan lebih dalam dari apa yang telah mereka lakukan sebelumnya (praktek). Proses ini sebuah proses satu arah yang sederhana. Pendidik atau Guru tidak memainkan peran sebagai orang yang memiliki pengetahuan dan memberikan pengetahuan itu kepada para muridnya. Peran pendidik dalam sebuah proses pendidikan kritis bukan memberikan jawaban tetapi menciptakan pertanyaan-pertanyaan. Proses pendidikan kritis adalah (1) suatu proses kolektif—melibatkan komunitas pada proses saling mengajar dan belajar dari pengalaman, (2) sesuatu yang kritis dan mencerdaskan—mencari sejarah dan akar masalah, (3) bersifat sistematik—mengajak komunitas berfikir dari kongkrit ke abstrak dan selanjut mengembalikan ke bentuk kongkrit (praktek-teori-praktek), (4) bersifat partisipatoris—melibatkan semua orang dalam proses penelitian, pendidikan dan organisasi, dan (5) sesuatu kreatif – menggunakan kesenian dan kebudayaan (drama, gambar, musik, cerita, foto) sebagai alat bantu pendidikan, merangsang rakyat berimajinasi dan memanfaatkan tenaga rakyat sesungguhnya. Pendidikan kritis bisa dilakukan kapan saja dan dimana saja. Hanya saja perlu diperhatikan konteks sejarah komunitas, sistem ekonomi politik, dan juga edeologi yang dominan di wilayah belajar tersebut.

  23. Nurul azhar Desember 11, 2010 pada 4:22 am #

    Nama : Nurul Azhar
    NPM: 200902659

    Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Daerah

    A. Latar Belakang

    Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan ekonomi Dunia Internasional khususnya sebagian besar masih menjadi problem besar di negara berkembang. Kemiskinan di latar belakangi oleh 3 faktor:

    1. Dari sisi faktor Sumber daya Manusia:

    1.1 Tingkat Pendidikan dan Skill rendah
    1.2 Budaya (mindset) yang statis dan konsumtif
    1.3 malas, kurang disiplin dan kurang semngat dalam meraih kemajuan
    1.4 etos kerja yang buruk dan tidak mampu bersaing dengan zaman

    2. faktor Sumberdaya Alam:

    2.1 kondisi SDA kurang potensi untuk kegiatan ekonomi
    2.2 Daerah rawan bencana
    2.3 Perubahan Iklim global (global warming)

    3. Faktor Sosial Politik:

    3.1 KORUPSI
    3.2 Kondisi politik yang tidak kondusif
    3.3 Pembunuhan karakter sosial oleh prilaku Nepotisme
    3.4 money politik yang menyebabkan suatu daerah terbelenggu oleh pemimpin yang zolim yang menyebabkan kondisi perekonomian tidak berkembang.
    3.5 konflik daerah agama, dll.

    B. Solusi :

    Solusi menuju pemberantasan kemiskinan yakni di antara 3 faktor yang telah disebutkan tadi harus berjalan secara sinergi dan tegak lurus
    semua faktor harus dibenahi dan di cari solusi alternatif untuk mencapai tujuan tersebut, adapun solusinya yakni:

    1. Menciptakan SDM yang kompetitif, inovatif dan berskill
    dengan cara mengadakan pelatihan, setelah pelatihan diberikan maka wajib menindaklanjuti dengan permodalan dan bimbingan bisnis UKM oleh pemerintah sehingga akan terus kontinu

    2. Menciptakan iklim politik yang bersih, bebas KKN dan benar2 memperdulikan Nasip Rakyat daerah

    3. Rehabilitasi Alam yang rusak, dan menemukan teknologi tepat guna untuk alternatif alam yang tidak mendukung,, seperti tanah Gel untuk di tempatkan di daerah yang SDAnya tanahnya kurang subur,,

    4. menciptakan kondisi sosial yang kondusif tanpa konflik, banyak jumlah kemiskinan meningkat akibat konflik sosial, seperti di POSO, maluku dan Papua
    memberikan pencerahan ideologi nasionalisme sebagai pemersatu berbangsa dan bernegara

    5. menciptakan Proyek yang padat karya, seperti perbaikan jalan, pembangunan jembatan, irigasi dengan catatan bersih dana tersebut untuk kemaslahatan rakyat, bukan untuk rekan, kolega

    Mungkin sekian solusi alternatif untuk mengatasi kemiskinan di daerah, terimakasih

  24. Fadkur Desember 13, 2010 pada 2:36 am #

    Nama : Fadkur
    NPM : 200902648
    Semester : V
    Kelas : E

    STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI DAERAH

    Kesenjangan dan kemiskinan masih merupakan problem bangsa Indonesia. Angka pengangguran pada tahun 2009 sekitar 8,1%; sedangkan angka kemiskinan 14,14% atau 32,5 juta dari total penduduk Indonesia. Untuk mengatasi masalah ini seraya berusaha mewujudkan kesejahteraan rakyat, pemerintah Indonesia telah melaksanakan Triple P Strategy: Pro Growth, Pro Poor, Pro Job. Pemerintah juga berusaha mengevaluasi efektivitas kebijakan dan program Triple P tersebut. Demikian diutarakan Deputi Menneg PPN/ Kepala Bappenas Bidang Kemiskinan, Ketenagakerjaan, dan Usaha Kecil Menengah Dr. Prasetijono Widjojo MJ, MA, ketika memberi pengantar pada Seminar Sehari Strategi Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia,
    KEMISKINAN DI BANTEN
    Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang layak sebagai warga negara. Kemiskinan merupakan masalah global. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Istilah “negara berkembang” biasanya digunakan untuk merujuk kepada negara-negara yang “miskin”
    Banten merupakan provinsi muda dengan kompleksitas permasalahan kemiskinan. Hasil penelitian Dahnil A. Simanjuntak (2007), terhadap potret kemiskinan di Banten dengan menggunakan data skunder, Susenas 2002 dari Biro Pusat Statistik (BPS) melalui pengolahan dengan Software Stata 8 dan mencoba untuk membandingkan dengan kemiskinan secara nasional, menyatakan bahwa;
    Tabel
    Perbandingan P0,P1 Dan P2 Banten dengan Nasional
    Banten Nasional
    P0 0,1166587 0,2194155
    P1 0,190555 0,0408474
    P2 0,051961 0,0116656
    Berdasarkan Tabel di atas, tingkat kemiskinan (P0) di Banten sebesar 11,6% lebih kecil dibandingkan dengan tingkat kemiskinan secara nasional yang mencapai angka 21,9%. Hal ini, menjelaskan bahwa pasca pemisahan Banten dari Jawa Barat, tingkat kemiskinan di Banten sedikit demi sedikit tereduksir. Hal ini juga dapat diamati melalui data tingkat kemiskinan sewaktu Banten masih bergabung dengan Jawa Barat. Jurang Kemiskinan (P1), di Banten menunjukkan angka 19,05% lebih besar dibandingkan dengan tingkat nasional 4,08%. Artinya jarak kemiskinan antara penduduk miskin dengan tidak miskin di Banten relatif tinggi dibandingkan dengan tingkat nasional. Hal ini dengan mudah dapat kita identifikasi, dengan kasat mata bagaimana tingkat kemakmuran warga kaya yang tinggal dibanyak perumahan mewah di Tangerang dibandingkan dengan tingkat kemakmuran masyarakat miskin di banyak pelosok desa di Pantura, Lebak dan Padeglang.
    Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), di Banten lebih besar dibanding secara nasional. Banten memiliki keparahan kemiskinan mencapai angka 0,51% sedangkan secara nasional hanya 0,11%. Artinya di Banten perbandingan antara yang miskin dengan yang kurang miskin lebih besar di banding secara nasional.
    Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Banten, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan) di Provinsi Banten pada bulan Maret 2007 sebanyak 886.100 orang atau 9,07 persen. Dibandingkan dengan penduduk miskin pada bulan Juli 2005 yang berjumlah 830.500 orang atau 8,86 persen, berarti jumlah penduduk miskin naik sebesar 55.600 orang. Dari total penambahan jumlah penduduk miskin itu, selama periode Juli 2005 – Maret 2007, penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah 26.500 orang, sementara di perkotaan bertambah 29.100 orang. Jumlah penduduk miskin di Banten tersebar di enam kabupaten/kota. Pada 2004 penduduk miskin Kabupaten Pandeglang sebanyak 151.500 jiwa, 2005 naik menjadi 154.800 jiwa, 2006 kembali naik 170.250 jiwa. Lebak pada 2004 sebanyak 138.000 jiwa, tahun 2005 sebanyak 141.000 jiwa, tahun 2006 sebanyak 172.440 jiwa. Kabupaten Tangerang pada 2004 sebanyak 246.000 jiwa, tahun 2005 sebanyak 251.200 jiwa, tahun 2006 sebanyak 279.090 jiwa. Kabupaten Serang penduduk miskin pada 2004 berjumlah 166.700 jiwa, tahun 2005 196.800 jiwa, tahun 2006 sebanyak 170.780 jiwa. Kota Tangerang pada 2004 jumlah penduduk miskinnya hanya 62.400 jiwa, naik di tahun 2005 menjadi 68.000 jiwa, dan pada 2006 mencapai 95.140 jiwa. Kota Cilegon penduduk miskinnya pada 2004 berjumlah 14.500 jiwa, di tahun 2005 sebanyak 18.700 jiwa, dan pada 2006 sebanyak 16.580 jiwa. Meski beragam program dengan dana miliaran rupiah dikeluarkan masing-masing pemerintah daerah, namun masih ada saja warga miskin yang tetap dalam kemiskinan. Bahkan, ada juga warga miskin yang sama sekali tidak tahu ada program pengentasan kemiskinan.
    Gambaran singkat di atas adalah bagian dari potret kemiskinan di Banten. Belum lagi daerah lainnya, apalagi yang memiliki daerah-daerah terpencil, mungkin tingkat kemiskinannya lebih memilukan.
    Beranjang dari realita yang menyedihkan di atas, maka seyogyanya semua pihak yang terkait harus bersatu padu, bekerja keras dan serius untuk mengatasi masalah yang ada, terlebih mampu mengakhiri kemiskinan di Banten. Sebagai provinsi yang tergolong muda, Provinsi Banten harus bekerja ekstra untuk mengeluarkan masyarakat dari jerat kemiskinan. Pemerintah Daerah merupakan pihak utama yang harus bertanggungjawab untuk membuat kebijakan-kebijakan yang ”operasional” guna mendorong dan menekan angka kemiskinan.
    Pihak swasta yang ”bercokol” di wilayah Banten, pun tidak luput dari tanggungjawabnya. Mereka memiliki tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) terhadap lingkungan sekitar untuk membantu memberdayakan masyarakat dalam berbagai bidang. Melihat realita di atas, bidang-bidang yang mestinya dijadikan prioritas adalah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat. Ketiga bidang tersebut merupakan bidang yang sangat vital. Bayangkan saja, jika secara ekonomi tidak berdaya, kesehatan yang buruk dan ditambah pendidikan yang terbelakang, lalu mau bagaimana?.
    Beberapa langkah dalam upaya menekan angka kemiskinan di Banten adalah sebagai berikut:
    pertama, Pihak yang berkepentingan (pemerintah dan swasta utamanya) harus memiliki political will yang kuat. Kemiskinan adalah masalah serius. Mengeluarkan masyarakat dari kemiskinan harus menjadi ”kewajiban” yang mendesak bagi semua pihak, terutama bagi pemerintah dan sektor swasta. Tanpa keinginan dan tekad yang kuat, sepertinya mustahil penyakit miskin itu bisa diatasi. Program dan kebijakan yang dibuat harus mencerminkan prioritas yang tinggi untuk mengatasi kemiskinan, bukan program dan kebijakan yang setengah-setengah yang hanya memboroskan anggaran. Kebijakan, program, dan anggaran harus pro-rakyat.
    Kedua, melakukan pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam berbagai kegiatan. Terutama kegiatan ekonomi. Partisipasi masyarakat dalam menggerakan ekonomi lokal harus didorong secara sistematis dan simultan. Potensi-potensi lokal di provinsi banten harus digali dan dikembangkan. Masyarakat sekitar pun harus merasakan ”manisnya”, bukan kepahitan seperti dampak limbah, kebisingan, polusi dan hal merugikan lainnya.
    Ketiga, mendorong masyarakat untuk berwirausaha, terutama kalangan petani dan buruh tani. Mereka harus didorong dan diberikan semacam pelatihan/pendidikan untuk berwirausaha. Tidak ada negara yang berdaya, negara yang maju, tanpa wirausaha dari masyarakatnya. Wirausaha berbasis pertanian dan wirausaha berbasis ekonomi kreatif harus digalakkan demi terciptanya masyarakat yang mandiri.
    Keempat, kesinambungan program. Acapkali, program yang dibuat hanya berfungsi ”menutupi luka” dalam jangka pendek, bukan mengobati sampai tuntas. Program pemberdayaan masyarakat harus dijalankan secara kesinambungan dengan evalusi dan monitoring yang baik. Kontrol kebijakan jangan hanya melaporkan baiknya saja, akan tetapi keburukan/kekurangan dalam implementasi kebijakan yang sebetulnya lebih dominan harus menjadi bahan kajian, bahan koreksi, dan menjadi bahan referensi untuk menuju kepada kondisi yang lebih baik.
    PNPM Dorong Turunkan Kemiskinan
    “Pemerintah terus berupaya melakukan langkah dan programstrategis untuk menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran, salah satunya melalui PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan ” kata Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah usai bertemu 758 pelaku PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaandi Anyer Serang, Kamis.

    Ratu Atut Chosiyah mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam satu tahun angka kemiskinan di Provinsi Banten menurun sekitar 29.900 orang, yakni sebanyak 788.100 orang dari tahun 2009 menjadi 758,200 orang pada 2010, dari jumlah penduduk Banten saat itu sekitar 9 juta lebih.
    Pada 2011 pelaksanaan PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan, baik program inti maupun pendukung diharapkan bisa lebih optimal, dengan melakukan evaluasi, koordinasi serta memprioritaskan berbagai persoalan di perdesaan dan perkotaan.Dengan demikian upaya pengurangan angka kemisikan dan pengangguran bisa lebih banyak dari tahun sebelumnya.
    “Di antara yang mendorong terhadap pembangunan ekonomi di perdesaan dan perkotaan tersebut melalui program simpan pinjam dari PNPM mandiri yang dikelola perempuan, juga pembangunan infrastruktur pedesaan” katanya.
    Pemerintah Provinsi Banten, kata dia, juga berupaya mengurangi pengangguran dengan menyediakan lowongan pekerjaan, di antaranya melalui “job fair” yang dilaksanakan Dinas Tenaga Kerja dan “job matching” yang diselengarakan Dinas Pendidikan Provinsi Banten.
    Berdasarkan data BPS, angka pengangguran di Banten menurun dari 2009 sebanyak 652.462 orang menjadi sebanyak 627.828 orang pada 2010, atau terjadi penurunan 24.634 orang.
    “Ini sebagai bukti bahwa selama ini pemerintah Provinsi Banten bersama seluruh masyarakat terus berupaya melakukan perubahan,” katannya.

    Dalam kesempatan tersebut, gubernur memberikan apresiasi bagi para pelaku PNPM Mandiri Pedesaan dan PNPM Mandiri Perkotaan dalam bentuk uang tunai Rp1 juta per bulan. Bantuan itu diberikan selama tiga bulan, melalui forum masing-masing seperti forum Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dan Badan Kordinasi Antar Desa (BKAD).
    Total anggaran yang dialokasikan untuk uang apresiasi itu sebesar Rp1,1 miliar dari APBD 2010, yang akan diserahkan pada 758 pelaku PNPM mandiri di daerah itu.
    Ketua Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dari Kecamatan Sindangsari Kabupaten Pandeglang Supriatna mengatakan, program PNPM Mandiri Pedesaan teleh memberikan kontribusi besar bagi pembangunan fisik maupun non fisik seperti bentuk bantuan modal simpan pinjam, kondisi tersebut terutama sangat dirasakan bagi masyarakat di perdesaan.

    Sebagai contoh, kata dia, di Desa Pasir Loa Kecamatan Sindangsari Pandeglang, dengan adanya pembangunan jalan desa melalui program PNPM Mandiri Pedesaan, telah mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat, yakni memudahkan akses terhadap pusat kegiatan ekonomi, kesehatan maupun pendidikan.
    Gubernur mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam satu tahun angka kemiskinan di Provinsi Banten menurun sekitar 29.900 orang, yakni sebanyak 788.100 orang dari tahun 2009 menjadi 758,200 orang pada 2010 dari jumlah penduduk Banten saat itu sekitar 9 juta lebih.
    Menurutnya, pada 2011 pelaksanaan PNPM mandiri baik program inti maupun program pendukung diharapkan bisa lebih optimal, dengan melakukan evaluasi, koordinasi serta memprioritaskan persoalan-persoalan di perdesaan dan perkotaan. Dengan demikian upaya pengurangan angka kemisikan dan pengangguran bisa lebih banyak dari tahun sebelumnya.
    “Diantara yang mendorong terhadap pembangunan ekonomi di perdesaan dan perkotaan tersebut melalui program simpan pinjam dari PNPM Mandiri yang dikelola perempuan, juga pembangunan infrastruktur pedesaan” kata gubernur.
    Selain angka pengangguran, kata dia, langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Provinsi Banten seperti membuka kesempatan kerja melalui “Job Fair” Dinas Tenaga Kerja dan “Job Matching” yang diselengarakan Dinas Pendidikan Provinsi Banten, juga merupakan salah satu upaya dalam mengurangi angka pengangguran di Banten.
    Menurut data BPS, kata Ibu Hj. Ratu Atut, angka pengangguran di Banten menurun dari 2009 sebanyak 652.462 orang menjadi sebanyak 627.828 orang pada 2010. Dengan demikian, dalam kurun waktu satu tahun angka pengangguran di Banten turun sebanyak 24.634 orang.”Ini sebagai bukti bahwa selama ini pemerintah Provinsi Banten bersama seluruh masyarakat terus berupaya melakukan perubahan,” katannya.
    Dalam kesempatan tersebut, gubernur memberikan atas kerja keras dan upaya para pelaku PNPM Mandiri, Gubernur Banten menyerahkan apresiasi dalam bentuk uang sebesar Rp.1 juta perbulan, selama tiga bulan untuk pelaku PNPM melalui forum masing-masing seperti forum Unit Pelaksana Kegiatan (UPK) dan Badan Kordinasi Antar Desa (BKAD). Anggaran yang dikeluarkan dari APBD Banten untuk pemberian apresiasi bagi 758 pelaku PNPM tersebut sekitar Rp. 1,1 miliar.

Tinggalkan Balasan ke Rio Taopan Batalkan balasan